Tabrakan Asteroid Picu Gunung Berapi dan Kepunahan Dinosaurus

By National Geographic Indonesia, Senin, 25 Maret 2019 | 10:22 WIB
Ilustrasi asteroid yang menabrak Bumi. (blackdovfx/Getty Images/iStockphoto)

Terbentuk ketika dua lempeng bergerak terpisah, punggung laut membentuk sistem vulkanik paling luas di planet ini.

Analisis gravitasi global telah mengindikasikan kerak bumi yang sangat tebal di batas K-Pg terbentuk karena aktivitas vulkanik berlebih. Efek ini hanya terlihat di sistem yang menyebar cepat di Pasifik dan Samudra Hindia dan membuat wilayah tersebut memiliki gunung-gunung api sangat aktif.

Bersama-sama, pengamatan ini menunjukkan pusat kegiatan gunung api pada saat kepunahan massal pada era Cretaceous yang didorong oleh tabrakan Chicxulub.

Kemusnahan

Bagaimana persisnya bencana alam ini–tabrakan asteroid dan peningkatan aktivitas gunung api–menyebabkan kepunahan massal sampai sekarang masih tidak jelas.

Sebagai penulis utama di jurnal Science, Courtney Sprain, yang adalah mantan mahasiswa doktoral UC Berkeley dan sekarang berada di University of Liverpool, Inggris, mengatakan:

Entah letusan Deccan tidak berpengaruh–yang kami pikir tidaklah mungkin–atau banyak gas yang menyebabkan perubahan iklim disemburkan ketika terjadi erupsi-erupsi kecil.

Kegiatan gunung api dapat meningkatkan suhu Bumi, karena erupsi gas rumah kaca seperti metana dan karbon dioksida. Aktivitas gunung api bersama-sama dengan tumbukan juga dapat mendinginkan atmosfer dengan menambahkan aerosol belerang atau debu.

Gas juga dapat keluarg ke atmosfer dari magma yang mendidih di bawah permukaan, bahkan tanpa erupsi.

Tidak terlalu jelas bagaimana semua ini dapat memusnahkan ekosistem darat dan laut, tetapi analisis yang bisa menebak kapan terjadinya peristiwa ini secara akurat sangat penting untuk mengungkap interaksi ini.

Jamiah Solehati menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

Penulis: Craig O'Neill, Director of the Macquarie Planetary Research Centre/Associate Professor in Geodynamics, Macquarie University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.