Adakah Hubungan Antara Salatiga, Arthur Rimbaud, dan Soekarno?

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 5 April 2019 | 07:50 WIB
Eddy Supangkat, pemerhati dan penggiat sejarah di Salatiga, berdiri di sisi belakang bekas rumah asisten residen Salatiga. (Mahandis Yoanata Thamrin)

Bekas kota garnisun ini membuat Rimbaud merasa sangat tak kerasan, sementara Soekarno merasa sangat kasmaran.

Perkembangan Salatiga tidak bisa dilepaskan dari perannya sebagai kota garnisun sejak pertengahan abad ke-18. Betapa tidak, usai Geger Pacinan, Gubernur Jenderal VOC Gustaf Willem Baron von Imhof melakukan ekspedisi melancong perdananya ke Semarang-Ungaran-Salatiga-Surakarta.

Langkah berikutnya, jalur logistik militer itu diamankan dengan menempatkan garnisun dan pertahanan benteng. Keberadaan benteng acap kali dihubungkan dengan kemunculan suatu kota, kawasan pecinan dan pasar.

Litografi kuno karya Joseph Jeakes, perupa asal Inggris yang masyhur awal abad ke-19, melukiskan keadaan Benteng Hersteller di Salatiga. Jeakes menorehkan sebuah bangunan kokoh bermenara pengawas. Di depannya  terhampar tanah lapang menghijau. Nun jauh, terlihat latar  pegunungan Telomoyo yang membiru di sisi barat daya kota ini.

Namun, kini Salatiga bukan kota garnisun lagi. Tampaknya, benteng itu dihancurkan sendiri oleh Belanda—entah pada tahun berapa.

Monumen Perjuangan berlokasi di Lapangan Pancasila Salatiga. Penanda zaman itu memajang sosok patung tiga pahlawan yang lahir di kota itu: Brigjen Soediarto, Laksamana Madya Yosaphat Soedarso, dan Marsekal Muda Agustinus Adisutjipto. (Mahandis Y.Thamrin/National Geographic Indonesia)

 

Di kawasan bunderan yang bergelora karena sosok Dipanagara yang tengah berkuda, tampak dua rumah indis yang berlatar Merbabu. Satu rumah berpilar besi tempa dengan beranda luas dan rumah lainnya berpilar putih gaya tuskan.

Kedua rumah yang dibangun sekitar pertengahan abad ke-19 ini dulunya rumah tinggal asisten residen, kini sebagai kompleks Rumah Dinas Walikota Salatiga.

Sebuah inskripsi yang baru diresmikan pada 1997 oleh duta besar Prancis terpampang di teras rumah berpilar putih gaya tuskan itu. Inskripsi itu menjadi pengingat bahwa penyair besar Prancis, Jean Nicolas Arthur Rimbaud (1854-91), pernah berdiam di Salatiga dari 2 sampai 15 Agustus 1876.

Dunia memang mengenal Rimbaud sebagai seorang penyair kampiun yang berpengaruh besar pada sastra modern, sekaligus pelancong yang sudah mengencani tiga benua. Lalu untuk apa Rimbaud jauh-jauh ke Hindia Belanda?

Singkat cerita, pemuda yang tak punya bakat di bidang militer itu mendaftar sebagai serdadu Hindia Belanda. Dia tercatat bergabung dengan batalion infanteri di Batavia, lalu bersama kesatuannya berlayar ke Semarang.

Perjalanan berlanjut dengan kereta dari Kedungjati hingga Tuntang, lalu jalan kaki ke tangsi militer Salatiga. Sebagai seorang pelancong, tentunya Rimbaud terbiasa dengan perjalanan panjang ini.