Di rumah inilah si Bung Besar menemukan cintanya yang keempat usai menyantap lodeh buatan seorang janda muda, Hartini.
Dua tahun berikutnya si Bung pun meminang Hartini. Kelak, perkawinan ini pula menyebabkan Fatmawati hengkang dari istana.
Kebetulan rumah Hartini berada tak jauh dari rumah dinas walikota, Jalan Diponegoro 6. Beranjak dari rumah dinas walikota, saya menyeberang untuk bertandang ke bekas rumah Hartini itu.
Meskipun kini pemilik rumah bukan keluarga Hartini atau Soekarno, rumah yang berlanggam arsitektur era 1930-an itu hingga kini masih tampak asri seolah tak terpengaruh riuhnya dinamika kota.
Ketika berlalu dari seputar kawasan bunderan menuju pinggiran permukiman Eropa, saya berpikir, mungkin Salatiga telah ditakdirkan sebagai tempat persinggahan para pemuja keindahan, seperti Rimbaud dan Soekarno. Perbedaannya, Rimbaud merasa sangat tak kerasan di kota ini, sedangkan Soekarno merasa sangat kasmaran.
Dalam bentangan Merbabu-Telomoyo yang membiru, persinggahan antara Semarang dan Surakarta ini menawarkan pesona wisata yang menandai retasan masa yang dilaluinya.
Sebagai seorang pejalan, saya pun tersenyum ketika menapaki keanggunan Salatiga dan mendendangkan syair yang pernah ditulis Rimbaud. ”Lead on the travelers through the windspouts of the valley and the whirlpool. These are the conquerors of the world. Seeking their personal chemical fortune.”