Ketandan Dalam Ingatan Warganya, Dari Rumah Kongsi Sampai Toko Emas

By Agni Malagina, Kamis, 18 April 2019 | 10:30 WIB
Suasana di depan garbang Kampung Ketandan yang terletak di Jalan Malioboro. (Sigit Pamungkas)

Nationalgeographic.co.id - Kota Yogyakarta didirikan pada tahun 1756. Cukup panjang sejarah perjalanan Yogyakarta sebagai sebuah kota yang saat ini telah menjadi destinasi wisata sejarah, budaya, seni tradisi, hingga kuliner. Elemen utama kota tua Yogyakarta adalah wilayah Keraton dan Kota Gede.

Di antara keduanya, terdapat satu wilayah yang turut mewarnai perkembangan kota, Ketandan–kompleks permukiman masyarakat Cina Yogyakarta sejak awal abad 19 masa Kapitan Tan Jin Sing (KRT Secodiningrat) menjadi sosok pimpinan warga Cina yang tenar di kalangan Keraton, masyarakat Jawa dan Eropa. Tempat awal munculnya kuliner kesohor, bakpia tiga roda dan mi Ketandan.

Ketandan juga merupakan tempat asal muasalnya Jamu Sidomuncul dan tempat kelahiran dokter mata terkenal di Yogyakarta, Dokter Yap. Tak hanya itu, Ketandan pernah menjadi sentra keramaian musiman–pada saat musim panen tiba! Letaknya di pusat kota, tak jauh dari Pasar Beringharjo dan Jalan Malioboro. 

Baca Juga : Blanko Merah yang Menautkan Kisah Batik Tiga Negeri Di Pulau Jawa

Hanjian (91) masih mengingat masa mudanya di Ketandan. Ia datang ke Indonesia menumpang kapal laut pada tahun 1940 dari sebuah pelabuhan kecil di Cina yang tak ia kenal namanya, saat itu ia berusia 10 tahun. Ia berangkat bersama ayah dan kakaknya. Ayahnya telah lebih dulu merantau ke Jawa kemudian kembali menjemput Hanjian dan kakaknya. Mereka sempat ketinggalan kapal dan menunggu satu tahun di wilayah pelabuhan tersebut dengan berpindah-pindah penginapan. Sampai akhirnya kapal yang membawa ke Surabaya pun datang tepat satu tahun kemudian.

Mereka tiba di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya setelah satu minggu berlayar. Hanjian muda pindah dari Surabaya ke Yogyakarta pada tahun 1960 dan menetap di salah satu rumah Kongsi, alias rumah yang digunakan untuk menampung orang-orang Cina perantauan yang datang ke Yogyakarta masa itu.

“Aku tamu anyaran (tamu baru datang), soko (dari) Hokkian neng (ke) Ketandan. Papae nyandu, nyandu neng Mbambon tempat ‘nyeret’ (papa(ku) nyandu Mbambon, itu tempat ‘nyeret’ – istilah untuk menggunakan candu). Mbambon itu tempate Cek Mou Yang, sama tempate Yo Hok G(k)ian,” ujarnya mengingat masa kedatangannya dan ayahnya yang suka menggunakan candu. Ia pun menyebutkan bahwa rumah kongsi yang ia tinggali merupakan tempat ‘nyandu’ yang tertutup.

Rupanya, bisnis candu dan bisnis emas merupakan bisnis favorit di Ketandan pada masa awal abad 20 seperti yang sempat disebutkan oleh Peter Carey dan James Rush (dalam bukunya Opium to Java).

Suasana di wilayah permukiman Ketandan yang terdiri dari pertokoan emas. Di toko emas tersebut banyak terdapat para pembeli emas yang membuka gerai mungil di emperan toko. Mereka khusus membeli emas 'muda' atau perhiasan yang tidak memiliki surat. (Sigit Pamungkas)

“Toko emas yo banyak. Musim panen yo rame. Jaman Belanda rame, jaman Jepang sepi. Merdeka ra pati rame. Dulu rame toko Mbah Kendil, sama Toko Salaman! Kendil tutup,” ujar Hanjian sambil duduk bercerita ditemani menantunya, Heri Mulyono (60) yang lahir serta tumbuh besar di Ketandan.

Ketika Heri berusia 17 tahun, ia pindah dari Ketandan bersama orangtuanya. Saat ini ia tinggal di Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping bersama dengan Engkong Hanjian yang pindah dari Ketandan ke Nogotirto pada tahun 2017.

“Dulu ada Hotel Sinar, Hotel Ketandan, tempat saya main. Ada pabrik roti Arkansas, besar sekali, sudah tutup. Oiya, ada agen rokok Rokok Pompa, tempat (saya) belajar ngerokok,” ujarnya terkekeh.