Ketandan Dalam Ingatan Warganya, Dari Rumah Kongsi Sampai Toko Emas

By Agni Malagina, Kamis, 18 April 2019 | 10:30 WIB
Suasana di depan garbang Kampung Ketandan yang terletak di Jalan Malioboro. (Sigit Pamungkas)

Ia pun merunut kenangannya pada Ketandan. Heri menyebutkan sederetan bangunan-bangunan di Ketandan mulai dari tilas kampus UPN (1970), komplek rumah AURI (1971), bekas sekolah Tionghoa (1966-1968) yang sudah pindah ke wilayah Kranggan kini menjadi Sekolah Bhineka Tunggal Ika. Menurutnya, Ketandan sekarang telah berubah wajah, pergaulan warganya sangat cair karena beragam suku etnis tinggal di wilayah tersebut seperti orang Jawa dan orang Banjar yang turun temurun berbisnis emas di Ketandan. 

Engkong Hanjian, tidak punya nama Indonesia, fasih berbahasa Jawa. Ingatannya pada Ketandan masih tajam walaupun tak banyak lagi kawan-kawan lamanya yang bisa ia jumpai. 

“Kebanyakan ditinggal mati e,” ujarnya singkat. Ia renta, pendengaran pun kurang sempurna, tapi ingatannya masih tajam.

Kenangan Hanjian dan Heri Mulyono sangat berharga menjadi serpihan ingatan sejarah tentang perkembangan kota tua dari kalangan non elit. Tentu masih banyak lagi serpihan ingatan Ketandan yang patut digali, didengarkan dan dituliskan.

Ketandan bertransformasi dengan segala dinamikanya. Setahun sekali, Ketandan menjadi tempat perayaan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta, tentu bukan hanya perayaan dan pesta namun bagaimana warga dan komunitasnya menghargai tradisi, keberagaman, dan menghidupkan denyut ekonomi di wilayah berusia lebih dari 250 tahun ini. 

Goei Manubowo (59) menyewa sebuah toko di perempatan pertama setelah gerbang Kampung Ketandan dari arah Jalan Malioboro. Tak sulit menemukan tokonya yang berada tetap di perempatan dan berwarna merah hitam. Toko yang menjual alat tulis dan pernak-pernik ini telah beroperasi dari tahun 1992. “Ini warnanya unik ya, sering disangka klenteng oleh orang-orang atau tamu yang lewat,” ujarnya sambil menceritakan masa jaya Ketandan ketika usaha toko emas di wilayah itu menjadi jujugan warga Yogyakarta.

“Dari Gunung Kidul, Wonosari, Wates, ke sini semua. Tahun 1970an itu luar biasa, jam 8 pagi sudah buka, jam 7 itu antrian sudah panjang,” ujarnya ketika saya menjumpainya sedang berjalan santai bersama anjing kesayangannya – Loki. Ia mencoba mengingat perkembangan Ketandan.

Goei Manubowo sedang menikmati suasana sore di Ketandan bersama anjing kesayangannya. Bangunan di belakangnya adalah sedikit bangunan yang memiliki simbol jangkar. (Sigit Pamungkas)

“Jaman saya kecil, Jalan A. Yani itu Pecinan. Sekarang pemiliknya beragam. Pemilik terdahulu sudah banyak yang pindah. Ketandan ini sudah diresmikan sebagai China Town. Tiap tahun ada acara Pekan Budaya Tionghoa. Ya ramai acaranya,” ujarnya.

Menurutnya, selama tujuh tahun belakangan ini banyak pendatang atau wisatawan yang hilir mudik di Ketandan, sekedar jalan-jalan atau foto-foto. Hari-hari biasa cukup ramai karena efek dari kegiatan pariwisata di Yogyakarta.  Namun ada hal detil yang ia kritisi sambil tertawa,”di sini China Town katanya, tapi ndak ada Chinese restoran.”

Ia menyebutkan beberapa restoran masakan Cina masyur sejak awal dibuka dan masih bertahan hingga saat ini. “Ada restoran Mahkota di Pajeksan, rumah makan Lijiong di Gondomanan, ada restoran Sintawang makanan seafood di Jalan Magelang,” tandasnya.

Baca Juga : Di Vietnam, Daging Tikus Menjadi Makanan Populer yang Digilai

Pukul lima sore, ia mulai berkemas dibantu isterinya yang juga lahir di Ketandan. Ia melambaikan tangan dan memasuki mobil. “Jangan lupa, kulineran ya!” ujar Manubowo.

Saya membalas lambaiannya dan menyusuri kawasan Ketandan sampai ke Pasar Beringharjo. Bangunan-bangunan lawas sebagian tampaknya belum berubah bentuk. Ada yang membuat saya tertarik yaitu gambar jangkar di beberapa tembok rumah, tepat di dekat tepi atap. Saya mengenal simbol jangkar itu mirip dengan salah satu simbol agama Nasrani.

Entah apa arti gambar jangkar tersebut bagi masyarakat yang dahulu berdomisili dan membuat gambar tersebut di rumah-rumah Ketandan.