Nationalgeographic.co.id— Dinding kayu bercat putih di rumah panggung keluarga Tjoa memang telah mengekalkan ingatan tentang leluhur pecinan Palembang. Kami menyaksikan sebingkai foto hitam-putih. Foto itu menggambarkan suasana duka tatkala pelepasan jenazah Tjoa Ham Hin di dermaga Kampung Kapitan, tepian Sungai Musi. Lukisan Sang Kapitan Cina dan sederet foto-foto kenangan telah berkisah tentang keluarga Sang Kapitan.Letak Kampung Kapitan berseberangan dengan Benteng Kuto Besak, tempat bertakhtanya Kesultanan Palembang. Keduanya dipisahkan oleh Sungai Musi. Warga setempat meyakini, leluhur mereka di kampung itu memiliki pertalian dengan keluarga Sultan. Sang Kapitan Cina itu mewariskan tiga rumah bergaya indis di Kampung Kapitan. Toponimi kampung ini mengacu pada tempat tinggal opsir Cina yang menghuni tepian musi tersebut. Kapitan diangkat oleh VOC dan berlanjut turun-temurun hingga pemerintahan Hindia Belanda.
Sejatinya, “kapitan” merupakan bahasa Portugis yang mengacu pada jabatan seseorang yang mengatur komunitasnya. Meski bergelar kapitan, jabatan ini tidak berkaitan dengan kegiatan militer. Jadi kapitan Cina hanya berwenang di komunitasnya dalam urusan perdagangan, memungut pajak, izin usaha, izin tinggal, hingga membina komunitas Cina di Palembang seperti mengurus surat lahir dan surat kawin.
Baca juga: Riwayat Kiprah Tabib Cina di NusantaraTIGA ANJING MENYALAK GALAK di sehamparan lantai marmer menjadi teras dari dua nisan dalam tradisi Cina—bongpai. Mereka menyambut kedatangan kami.
Dua nisan batu granit itu berukir aksara Cina dengan cat merah. Dindingnya berukir aneka puspa dan satwa, mungkin kisah Cina klasik. Di sebelah kedua batu nisan itu terdapat toapekong makam bertuliskan Dewa Kesejahteraan. Area permakaman ini kira-kira seluas lapangan bola voli.
Barangkali inilah permakaman mewah yang nelangsa: Makam kapitan terakhir di Palembang yang berdampingan dengan istrinya. Mereka bersemayam di balik dinding deretan ruko. Tak ada pagar atau pun papan penanda yang menerangkan tentang siapa yang dimakamkan di lokasi itu. Hanya alang-alang yang membatasi permukiman warga. “Kapitan meninggal 1922,” ujar Agni Malagina kepada saya di kesempatan lain. “Musim dingin bulan sebelas, tanggal satu dalam penanggalan bulan [imlek]. Jadi sekitar bulan Desember.” Demikian pemerian Agni, sinolog dari Universitas Indonesia setelah menyaksikan foto inskripsi pada nisan Sang Kapitan. Ukiran aksara Cina pada nisan itu, menurut Agni, mengisahkan tanggal wafat, nama, pujian, dan prestasi.
Jawaban dari pertanyaan itu memerlukan selisik silsilah keluarga Tjoa. Sumbernya mungkin sebuah buku manuskrip beraksara Cina tinggalan Sang Kapitan. Buku itu masih bersemayam di rumah keluarga Tjoa, menanti datangnya para sinolog dan sejarawan Indonesia untuk mengkajinya.