"Apa dosa menjadi peranakan? Menjadi Tionghoa? Menjadi Jawa?"
Demikian kata Gubernur Jawa Tengah Gandjar Pranowo saat membuka peluncuran buku edisi ketiga Peranakan Tionghoa Indonesia, Sebuah Perjalanan Budaya di Semarang Contemporary Art Gallery, Semarang (13/7).
Gandjar mengajak untuk merenungkan kembali keragaman budaya yang membentuk ke-Indonesia-an kita.
Baca juga: Einstein Juga Manusia, Kehidupannya Tidak Melulu Tentang Hal Genius
Kita, demikian ungkapnya, tidak bisa memilih untuk dilahirkan di latar budaya tertentu. Setiap budaya memiliki kisah teladannya sendiri yang menjadi bagian kearifan tradisi Nusantara.
Salah satu sumbangan budaya Tionghoa adalah batik, demikian ungkapnya.
“Saya menyukai batik bergambar naga. Saya kolektor batik Lasem yang bergambar naga. Di situ diceritakan bermacam-macam dengan sentuhan hati dan komunikasi yang lembut semua bisa berpadu menjadi satu.”
Boedi Mranata, yang mewakili Komunitas Lintas Budaya Indonesia dan Pelindung Kehormatan di paguyuban Sosial marga Tionghoa Indonesia, turut memberikan sambutan.
Dia berkisah perihal riwayat perjalanan orang-orang Tiongkok yang tersebar dan bermukim di pesisir Nusantara. Mereka, ungkap Boedi, menggunakan kapal-kapal yang dipandu angin untuk mencapai Kepulauan Rempah ini.
Lantaran harus menunggu angin untuk kembal, mereka bermukim untuk beberapa bulan lamanya. Saat itulah terjadi interaksi dengan budaya setempat hingga menikah dengan warga setempat.
Baca juga: Danau Raksasa Ditemukan di Mars, Dapat Menunjang Kehidupan?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR