Persentuhan dan peleburan budaya itu sebuah keniscayaan. “Budayanya tidak asli Indonesia, tidak asli Cina, membikin tersendiri budayanya,” kata Boedi. “Kita itu bagian dari Indonesia. Itu yang mau kita sebutkan.”
Lily Wibisono, editor buku ini yang juga mantan editor-in-chief Intisari, mengungkapkan bahwa kebudayaan peranakan Tionghoa kerap mengantarkan kita pada konotasi masa silam.
Kendati demikian, sejatinya, kebudayaan ini masih hidup dalam keluarga-keluarga Indonesia. Budaya ini senantiasa berevolusi dalam konteks perjumpaannya dalam dinamika sosial, budaya, dan politik.
Globalisasi pun turut memengaruhi budaya peranakan Tionghoa. Di penjuru Nusantara, ke-Tionghoa-an keluarga-keluarga peranakan terus berinteraksi dan diperkaya oleh pengaruh budaya setempat.
Buku yang menyajikan kekuatan visual setebal lebih dari 400 halaman ini merupakan kolaborasi Komunitas Lintas Budaya Indonesia dan majalah Intisari.
Sejumlah 14 penulis turut terlibat dalam penyusunan buku ini: Ariel Heryanto, Boedi Mranata, David Kwa, Esther Harijanti, Gondomono, Handi Noto, Kwan Hwi Liong, Lily Wibisono, Maria Helena Ishwara, Mary Patricia Northmore, Myra Sidharta, Mona Lohanda, Musa Jonathan, dan Rudi Tjahjadi.
Pengerjaan untuk edisi ketiga ini memakan waktu sekitar empat tahun, dan peluncurannya sekaligus menandai kado ulang tahun majalah Intisari yang ke-55.
Baca juga: Cermati! Benda-Benda di Rumah Berpotensi Menjadi Penyebab Kanker
Keduanya memiliki visi yang sama untuk memberikan informasi yang membuka wawasan pembaca dan menginspirasi Indonesia.
Buku bertema budaya ini memiliki keterkaitan dengan tema ulang tahun Intisari tahun ini—Merayakan Talenta Indonesia. Para pembaca, khususnya generasi muda, diajak untuk menemukan sari kearifan budaya untuk bekal dan bersiap melangkah ke masa depan Indonesia.
Peluncuran buku ini digelar di Semarang Contemporary Art Gallery yang terletak di jantung Kota Lama Semarang pada 13 Juli 2018.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR