Nationalgeographic.co.id - Kapan pertama kali bekam tradisional memasuki Nusantara? Sampai sejauh ini kita hanya bisa menduga-duga. Bekam tradisional diduga memasuki Nusantara sejak para pedagang Cina dan Arab berlabuh di sini karena mereka dipersatukan oleh jalur rempah. Inilah sekelumit catatan semasa tentang jalan setapak praktik ilmu kedokteran asal Negeri Tiongkok di kepulauan kita.
“Mereka membungkus dan mencekik leher pasien, menjungkirkannya ke bawah, dan mengguncang-guncangkannya, sehingga darah mengalir ke bagian kepala,” ungkap Johann Jacob Saar (1625-1672). Kemudian “mereka menusuk dahi pasien, menempatkan secarik kain katun di atasnya dan mengikatkannya di sekitar kepala.”
Saar yang berasal dari Nuremberg, Jerman, merupakan salah satu pelancong Eropa awal yang memerhatikan pengobatan oleh tabib Cina di Batavia pada pertengahan abad ke-17. Selama 14 tahun, dia mengabdi sebagai serdadu VOC. Selama di Batavia, Saar menulis buku harian yang kelak diterbitkan pada 1662. Buku Saar itu berjudul Ost-Indianische Funfzehen-Jährige Kriegs-Dienste, Und Wahrhafftige Beschreibung.
Pemeriannya tentang penyembuhan ala tradisi Cina itu mengundang rasa ngeri bagi orang Eropa—mungkin juga bagi dirinya sendiri. Betapa Saar menggambarkan praktik pengobatan kuno dengan cara mengeluarkan darah dari tubuh si pasien—bloodletting atau pembekaman. Pengobatan ini diyakini membuang darah kotor yang menyebabkan seseorang sakit. Selain mengeluarkan darah dari kepala, kadang para tabib itu mengambil darah dari lengan pasien. Intensitasnya bisa beberapa kali dalam setahun.
“Ketika kondisi mengkhawatirkan, mereka bukan lagi menggunakan kepala, melainkan memakai tanduk sebagai alatnya,” ungkap Saar. “[Setelah tanduk dipanaskan] mereka meniup kedalam rongga tanduk dan melekatkannya dengan cepat ke tubuh pasien. Ketika kulit telah terangkat, mereka menusuknya dengan lanset.”
Awal penyebaran penyembuhan ala tradisi Tiongkok ke penjuru Asia Tenggara konon bermula ketika ekspedisi Cheng Ho pada awal abad ke-15. Setidaknya 180 tabib ikut serta dalam ekspedisi yang diyakini berpengauh dalam pengobatan, perawatan kesehatan, hingga peralatan medis di sepanjang rutenya. Mereka yang direkrut merupakan para tabib swasta terkemuka dan pegawai medis dari Taiyi Yuan, sebuah akademi ilmu kedokteran kekasiaran yang sohor.
Kendati demikian, catatan paling awal tentang praktik tabib Cina di Jawa baru terungkap pada beberapa dekade jelang berakhirnya masa Dinasti Ming, atau sekitar awal abad ke-17.
Tersebutlah seorang bernama Equa. Dia adalah seorang Cina yang telah dikristenkan dan secara resmi ditunjuk sebagai tabib oleh kantor Gubernur VOC pada 1635. Sebutan resminya, Meester Isaac. Gubernur Jenderal Anthony van Diemen memberikan hak kepada Equa untuk menempati tanah di tepian timur Kanal Buitenkaaimansgracht, di luar tembok kota, sekitar aliran Kali Ciliwung di Jalan Jayakarta pada masa kini.
Pada 1640, VOC memberikan izin kepada komunitas Cina di Batavia dalam menghimpun dana untuk pembangunan Rumah Sakit Cina untuk fakir miskin, Yangji Yuan. Enam tahun kemudian, Rumah Sakit itu selesai dibangun. Pengelolanya dua orang Cina, salah satunya Meester Isaac Equa, dan dua orang Belanda beserta sekretaris pribadi. Awalnya, bangunan itu sederhana karena berstruktur bambu. Sekitar 1661 dan 1667 berdinding batu bata, kemudian diperbesar pada 1729.
Dalam sebuah pameran litografi di Jakarta, saya termangu di depan lukisan tentang Spinhuis, rumah pembinaan bagi perempuan jalang di Batavia pada abad ke-17 (lihat gambar sampul artikel ini). Johan Nieuhof (1618-1672), menggambarkan rumah binaan yang tidak memiliki jendela kecuali di sisi timurnya yang menghadap kastel. Sebelah kanannya merupan Rumah Sakit Cina, yang merawat orang miskin yang sakit dan sekaligus panti jompo. Lokasinya kini di sekitar Jalan Tiang Bendera I, Jakarta Kota. Kini, kanal di depannya telah berubah menjadi permukiman padat.
Rumah Sakit Cina itu berlokasi di dalam tembok kota, sebelah barat Kanal Rhinocerosgracht. Kini, kanal itu telah berganti dengan permukiman padat, sedangkan tapak bekas Rumah Sakit Cina itu menempati salah satu petak di Jalan Tiang Bendera I.
Sekitar 1680-an, Nicolaus de Graaff (1619-1688) memberikan pemerian tentang Rumah Sakit Cina di Batavia. Graff, lelaki kelahiran Alkmaar, Belanda, memiliki keahlian bedah di kapal VOC, seniman lukis, dan penulis kisah perjalanan. Setidaknya dia telah melakukan perjalanan dari Belanda ke Hindia Timur sebanyak lima kali. Catatan tentang pengamatannya yang mendalam seputar kehidupan Batavia baru diterbitkan pada 1701—setelah dia wafat—dalam Oost-Indise Spiegel.
Graaff mengungkapkan bahwa letak Rumah Sakit Cina dan panti jompo itu bersebelahan dengan Spinhuis, tempat rehabilitasi para pelacur. Bangunan itu merupakan “tempat tinggal yang nyaman bagi orang sakit, anak yatim dan orang-orang yang tidak mampu menjaga diri mereka sendiri,” ungkap Graff. “Halaman depannya menyenangkan untuk menghibur orang sakit.”
“Semua orang Cina yang akan menggelar pementasan teater, kembang api, pernikahan, atau upacara pemakaman; mereka diwajibkan untuk membayar sejumlah uang untuk rumah ini,” ungkap Graff. Kemudian dia menambahkan, “Banyak orang Cina kaya memberikan hadiah sebagai tanda kemurahanhatinya atau mengingatnya dalam wasiat mereka.”
Penuturan lain berasal dari Johann Wilhelm Vogel (1657-1723), seorang kelahiran Ernstroda, Jerman, yang pernah menjadi pegawai VOC dan bermukim di Batavia pada akhir abad ke-17. Dalam jurnal perjalanannya yang baru diterbitkan pada 1812, Leben und Schicksale des berühmten Reisebeschreibers Johann Wilhelm Vogel, dia juga menyaksikan kehadiran para tabib Cina di kota itu. “Di antara mereka terdapat para dokter Cina yang sungguh baik, yang terutama memahami denyut nadi dan analisis dalam mendiagnosa penyakit pasien dan menyembuhkannya.”
Salah seorang pemilik pabrik arak dan juga seorang tabib sohor di Batavia adalah Tjoebitia, yang menetap di Batavia sejak 1690-an. Kedekatannya dengan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (menjabat 1704-1709) telah membawa Tjoebitia melawat ke Belanda selama 1709-1711. Hasil percakapannya dengan seorang perwira Belanda yang berkait dengan tradisi pengobatan dan sejarah Cina, kini tersimpan di Leiden dan Amsterdam.
Tidak hanya tabib lelaki, tabib perempuan pun berkiprah di Batavia pada awal abad ke-18. Tabib perempuan itu merupakan istri dari letnan Cina di Batavia, yang menjadi dokter pribadi keluarga Gubernur Jenderal Matheus de Haan selama 30 tahun. Sayangnya, nama tabib perempuan itu lenyap dari catatan sejarah.
François Valentijn (1666-1727), seorang naturalis dan pegawai VOC yang sohor dengan buku Oud en Nieuw Oost-Indiën. Valentijn mengungkapkan perkenalannya dengan seorang tabib mahsyur dan Kapitan Cina di Ambon, Lim Thiangko. “Dia pernah membantu bayi yang urinnya berdarah,” ungkapnya. “Dan juga menyembuhkan seorang wanita berumur lima puluhan, yang telah tuli selama delapan belas tahun.” Valentijn juga memuji Lim, “Dokter Cina ini kadang mampu melakukan hal-hal yang luar biasa, berkat pengetahuan mereka yang tak hanya dalam pengobatan tetapi juga dalam farmakope.”
Johannes Rach (1720-1783), pelukis dan pegawai VOC asal Denmark pernah berdinas di Batavia selama 19 tahun hingga wafatnya. Dia membuat lukisan di atas kertas yang menunjukkan tampak depan Spinhuis atau rumah pintal dan Rumah Sakit Cina yang sudah tak berpenghuni lagi. Selepas huru-hara pembantaian orang Cina di Batavia pada 1740, mereka dilarang untuk memasuki atau tinggal di dalam tembok kota. Rumah sakit dibiarkan kosong selama beberapa dekade. Jelang kebangkrutan VOC, komunitas Cina mendirikan Rumah sakit di luar tembok kota.
Sketsa oleh Johannes Rach yang diselesaikan oleh asistennya itu bertajuk "Het gezigt van het Spinhuys met het Seneese Hospitaal staande op de Spinhauys Gragt af te zien van de hoek aan de terse Straat". Inilah rupa rumah pembinaan bagi perempuan jalang, sementara di sebelahnya dengan atap menjulang adalah bekas Rumah Sakit Cina pada akhir abad ke-18 di Batavia. Lokasinya sekitar Jalan Tiang Bendera.
Kisah riwayat pengobatan Cina di Nusantara tersebut merupakan nukilan dari penelitian Claudine Salmon dan Myra Sidharta. Mereka mengungkapkan sejarah pengobatan tradisi Cina dan perkembangannya di Indonesia dalam “Traditional Chinese Medicine and Pharmacy in Indonesia - Some Sidelights”, terbit dalam jurnal Archipel volume 74, 2007. Keduanya menjumpai tantangan lantaran sungguh sedikit sumber pengetahuan tentang praktik tabib-tabib Cina di Nusantara. “Dokter Belanda tidak menaruh banyak perhatian untuk ilmu kedokteran dan farmasi Cina di koloni mereka,” tulis mereka. “Akibatnya kita harus bergantung pada berbagai tinggalan catatan pelancong Eropa atau para pejabat Belanda.”
Pengobatan lewat tradisi Cina ibarat sejarah yang berlanjut, kendati mengalami pasang-surut selama periode Orde Lama dan Orde Baru. Pada 1962, sembilan tabib Cina dikirim ke Indonesia untuk merawat Presiden Soekarno. Tahun berikutnya, tabib Cina di Indonesia mendirikan pusat pengobatan akupuntur di Jakarta, dan Surabaya pada 1965.
Ketika Orde Baru, segala sekolah dan perkumpulan Cina dihapus. Hubungan diplomatik dengan Tiongkok pun sementara ditutup. Namun, Yayasan Akupunktur Umum Jakarta Indonesia justru meretas asa pada 1968, dan kemudian diikuti di beberapa kota. Pada 1975, Ikatan Naturopatis Indonesia (IKNI) berdiri di Jakarta dengan anggota 125 tabib. Sampai dengan 2006, lembaga ini memiliki sekitar 1.400 tabib—hampir separuhnya perempuan.
“Perlu dicatat,” tulis mereka, “bahwa kebangkitan kembali minat dalam pengobatan Cina merupakan fenomena yang tidak terbatas di Asia saja.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR