Graaff mengungkapkan bahwa letak Rumah Sakit Cina dan panti jompo itu bersebelahan dengan Spinhuis, tempat rehabilitasi para pelacur. Bangunan itu merupakan “tempat tinggal yang nyaman bagi orang sakit, anak yatim dan orang-orang yang tidak mampu menjaga diri mereka sendiri,” ungkap Graff. “Halaman depannya menyenangkan untuk menghibur orang sakit.”
“Semua orang Cina yang akan menggelar pementasan teater, kembang api, pernikahan, atau upacara pemakaman; mereka diwajibkan untuk membayar sejumlah uang untuk rumah ini,” ungkap Graff. Kemudian dia menambahkan, “Banyak orang Cina kaya memberikan hadiah sebagai tanda kemurahanhatinya atau mengingatnya dalam wasiat mereka.”
Penuturan lain berasal dari Johann Wilhelm Vogel (1657-1723), seorang kelahiran Ernstroda, Jerman, yang pernah menjadi pegawai VOC dan bermukim di Batavia pada akhir abad ke-17. Dalam jurnal perjalanannya yang baru diterbitkan pada 1812, Leben und Schicksale des berühmten Reisebeschreibers Johann Wilhelm Vogel, dia juga menyaksikan kehadiran para tabib Cina di kota itu. “Di antara mereka terdapat para dokter Cina yang sungguh baik, yang terutama memahami denyut nadi dan analisis dalam mendiagnosa penyakit pasien dan menyembuhkannya.”
Salah seorang pemilik pabrik arak dan juga seorang tabib sohor di Batavia adalah Tjoebitia, yang menetap di Batavia sejak 1690-an. Kedekatannya dengan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (menjabat 1704-1709) telah membawa Tjoebitia melawat ke Belanda selama 1709-1711. Hasil percakapannya dengan seorang perwira Belanda yang berkait dengan tradisi pengobatan dan sejarah Cina, kini tersimpan di Leiden dan Amsterdam.
Tidak hanya tabib lelaki, tabib perempuan pun berkiprah di Batavia pada awal abad ke-18. Tabib perempuan itu merupakan istri dari letnan Cina di Batavia, yang menjadi dokter pribadi keluarga Gubernur Jenderal Matheus de Haan selama 30 tahun. Sayangnya, nama tabib perempuan itu lenyap dari catatan sejarah.
François Valentijn (1666-1727), seorang naturalis dan pegawai VOC yang sohor dengan buku Oud en Nieuw Oost-Indiën. Valentijn mengungkapkan perkenalannya dengan seorang tabib mahsyur dan Kapitan Cina di Ambon, Lim Thiangko. “Dia pernah membantu bayi yang urinnya berdarah,” ungkapnya. “Dan juga menyembuhkan seorang wanita berumur lima puluhan, yang telah tuli selama delapan belas tahun.” Valentijn juga memuji Lim, “Dokter Cina ini kadang mampu melakukan hal-hal yang luar biasa, berkat pengetahuan mereka yang tak hanya dalam pengobatan tetapi juga dalam farmakope.”
Johannes Rach (1720-1783), pelukis dan pegawai VOC asal Denmark pernah berdinas di Batavia selama 19 tahun hingga wafatnya. Dia membuat lukisan di atas kertas yang menunjukkan tampak depan Spinhuis atau rumah pintal dan Rumah Sakit Cina yang sudah tak berpenghuni lagi. Selepas huru-hara pembantaian orang Cina di Batavia pada 1740, mereka dilarang untuk memasuki atau tinggal di dalam tembok kota. Rumah sakit dibiarkan kosong selama beberapa dekade. Jelang kebangkrutan VOC, komunitas Cina mendirikan Rumah sakit di luar tembok kota.
Sketsa oleh Johannes Rach yang diselesaikan oleh asistennya itu bertajuk "Het gezigt van het Spinhuys met het Seneese Hospitaal staande op de Spinhauys Gragt af te zien van de hoek aan de terse Straat". Inilah rupa rumah pembinaan bagi perempuan jalang, sementara di sebelahnya dengan atap menjulang adalah bekas Rumah Sakit Cina pada akhir abad ke-18 di Batavia. Lokasinya sekitar Jalan Tiang Bendera.
Kisah riwayat pengobatan Cina di Nusantara tersebut merupakan nukilan dari penelitian Claudine Salmon dan Myra Sidharta. Mereka mengungkapkan sejarah pengobatan tradisi Cina dan perkembangannya di Indonesia dalam “Traditional Chinese Medicine and Pharmacy in Indonesia - Some Sidelights”, terbit dalam jurnal Archipel volume 74, 2007. Keduanya menjumpai tantangan lantaran sungguh sedikit sumber pengetahuan tentang praktik tabib-tabib Cina di Nusantara. “Dokter Belanda tidak menaruh banyak perhatian untuk ilmu kedokteran dan farmasi Cina di koloni mereka,” tulis mereka. “Akibatnya kita harus bergantung pada berbagai tinggalan catatan pelancong Eropa atau para pejabat Belanda.”
Pengobatan lewat tradisi Cina ibarat sejarah yang berlanjut, kendati mengalami pasang-surut selama periode Orde Lama dan Orde Baru. Pada 1962, sembilan tabib Cina dikirim ke Indonesia untuk merawat Presiden Soekarno. Tahun berikutnya, tabib Cina di Indonesia mendirikan pusat pengobatan akupuntur di Jakarta, dan Surabaya pada 1965.
Ketika Orde Baru, segala sekolah dan perkumpulan Cina dihapus. Hubungan diplomatik dengan Tiongkok pun sementara ditutup. Namun, Yayasan Akupunktur Umum Jakarta Indonesia justru meretas asa pada 1968, dan kemudian diikuti di beberapa kota. Pada 1975, Ikatan Naturopatis Indonesia (IKNI) berdiri di Jakarta dengan anggota 125 tabib. Sampai dengan 2006, lembaga ini memiliki sekitar 1.400 tabib—hampir separuhnya perempuan.
“Perlu dicatat,” tulis mereka, “bahwa kebangkitan kembali minat dalam pengobatan Cina merupakan fenomena yang tidak terbatas di Asia saja.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR