Nationalgeographic.co.id—Istilah “sustainability” alias "keberlanjutan" kini meresap dalam setiap diskusi di industri kopi, bukan tanpa alasan.
Data riset dari Mintel menunjukkan tren yang jelas: hampir separuh (49%) produk kopi global baru yang diluncurkan pada tahun 2020 menyertakan klaim etis atau lingkungan. Angka ini melonjak drastis, hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2012, mencerminkan peningkatan kesadaran dan permintaan konsumen terhadap isu keberlanjutan.
Mulai dari praktik pengemasan yang ramah lingkungan hingga proses pembelian kopi hijau dan operasional roastery, semakin banyak perusahaan di industri ini mengklaim bahwa mereka memprioritaskan tanggung jawab lingkungan, sosial, dan ekonomi. Perubahan ini didorong oleh perilaku konsumen.
Sebuah studi International Institute for Sustainable Development menemukan bahwa 43% konsumen kopi menyatakan keputusan pembelian mereka dipengaruhi oleh pilihan "kopi yang etis, ramah lingkungan, atau bertanggung jawab secara sosial". Ini membuka peluang besar bagi bisnis untuk menarik perhatian konsumen dan membedakan diri di pasar.
Di satu sisi, pergeseran fokus pada tanggung jawab lingkungan, sosial, dan ekonomi ini adalah perkembangan positif. Upaya nyata seperti mengurangi emisi dan limbah, mendukung komunitas petani, dan membayar harga yang lebih tinggi untuk kopi berkualitas merupakan langkah penting menuju industri yang lebih tangguh dan adil.
Namun, tanpa regulasi yang kuat, uji tuntas, spesifisitas, dan transparansi yang memadai, klaim keberlanjutan berisiko hanya menjadi jargon pemasaran atau praktik greenwashing.
Untuk menggali lebih dalam, kami berbincang dengan para ahli: Kamil Kamieniecki, manajer pemasaran Samba Coffee Roasters (roastery asal Yunani yang didirikan tahun 1979), Elisa Criscione, pendiri Digital Coffee Future, dan Quinn Kepes, Senior Programme Director di Verité.
Definisi Keberlanjutan: Lebih dari Sekadar Lingkungan
Konsep keberlanjutan telah berkembang menjadi multidimensi. Meskipun akarnya bisa ditelusuri hingga abad ke-18 terkait pengelolaan hutan, definisi yang paling dikenal diberikan oleh Komisi Brundtland pada tahun 1987: "memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri." Definisi ini mencakup tiga pilar yang saling terkait: lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Dalam konteks kopi, seperti dilansir perfectdailygrind.com, keberlanjutan menjadi pertimbangan utama di seluruh rantai pasokan. Produksi kopi secara historis menghadapi tantangan seperti deforestasi, penggunaan input buatan yang berlebihan, dan struktur perdagangan yang merugikan petani, terutama petani kecil.
Praktik berkelanjutan yang sejati tidak hanya mengelola lingkungan secara bertanggung jawab, tetapi juga berupaya meningkatkan ketahanan ekonomi di komunitas penghasil kopi.
Baca Juga: Benarkah Perubahan Iklim Memicu Naiknya Harga Kopi Favorit Kita?
KOMENTAR