Nationalgeographic.co.id—Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan ragam pangan lokal. Ragam tanaman pangan, mulai dari umbi-umbian, serealia, hingga kacang-kacangan, mampu tumbuh di tanah Nusantara ini.
Namun sudah optimalkah pemanfaatannya? Dan apakah prinsip budi daya tanaman pangan yang diterapkan sudah berkelanjutan, ramah lingkungan, dan turut melestarikan bumi?
Untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan di atas, Pameran Ragam Flora Indonesia 5: Khazanah Alam Nusantara menghadirkan gelar wicara (talkshow) bertajuk "Daulat Pangan Nusantara: Dari Ragam Budaya Memuliakan Pangan sampai Peluang Keberlanjutan untuk Memuliakan Bumi". Gelar wicara yang berlangsung di Selasar Griya Anggrek, Kebun Raya Bogor, pada Sabtu siang, 17 Mei 2025, itu menghadirkan beberapa pembicara yang telah lama mendalami isu pangan Nusantara.
Dalam gelar wicara ini Direktur Eksekutif Yayasan Nusa Gastronomi, Meilati Batubara, menyampaikan keprihatinannya bahwa generasi kita sekarang telah kehilangan kedekatan dengan alam. Berbeda dengan nenek moyang Indonesia dahulu dan masyarakat adat yang memiliki kedekatan dengan alam "sehingga mereka menghormati alam."
"Alam yang memberi makan kita. Kenapa begitu beragam kuliner di Indonesia itu, karena alamnya berbeda," tegas Mei, sapaan Meilati. "Misalnya di Jakarta. Jakarta itu lingkungannya rawa, jadi makanannya juga berasal dari rawa misalnya makan eceng gondok. Masyarakat yang di Sumba karena di sabana ya dia biasa makan daging kuda, minum susu kuda."
Mei dan timnya pernah berkeliling Indonesia untuk mendokumentasikan resep makanan Nusantara dalam Ekspedisi Pusaka Rasa Nusantara. Ia menyimpulkan, "Tradisi kuliner Indonesia itu sangat-sangat lekat dengan alam. Artinya gini, kalau kita tahu nanti mau ngambil makanan dari tempat itu, kita nggak mungkin nyampah, nggak mungkin merusak. Justru kita jaga. Karena kalau kita rusak, besok kita mau makan apa? Jadi pertanyaannya sesederhana itu dulu masyarakat kita, tapi justru value itu yang sekarang mungkin sudah mulai hilang karena kita menjadi jauh dari alam."
Ahmad Arif, jurnalis senior lingkungan sekaligus inisiator platform Nusantara Food Biodiversity yang juga telah berkeliling Indonesia untuk merekam cerita-cerita tentang pangan Nusantara, sepakat dengan Mei soal pentingnya menjaga keragaman pangan Nusantara. Ia secara khusus juga mengkritisi program food estate beras di Merauke, Papua. Menurutnya, program itu tak cuma merusak lingkungan, tetapi juga merusak kebudayaan lewat penjajahan pangan alias gastrokolonialisme.
"Ketika hutan di Papua itu ditebang dan digantikan sawah, yang terjadi bukan hanya mengubah lanskap, tapi mengubah kebudayaan dan bahkan sistem kepercayaan pangan mereka itu hancur di situ. Dan kita kemudian akan melihat siapa yang masih bisa menanam padi sampai sekarang di sana? Ada, tapi itu hampir semuanya orang luar, harus transmigran. Petani-petani lokal sulit sekali melanjutkan tradisi bercocok tanam padi karena budaya mereka harus ada lompatan yang jauh untuk yang dari dulu bagi mereka pangan itu adalah hutan mereka. Budaya mereka adalah berburu, meramu, dan sedikit berbudi daya. Dan kemudian ketika mereka dipaksa untuk membudidayakan padi, ada masalah di situ," papar Aik, sapaan Arif.
"Akhirnya yang terjadi, konsumsinya sudah berubah. Selera pangan anak-anak dari kecil sudah tergantung pada beras dan bahkan mi instan, tapi produksi pangan mereka tidak mendukung itu. Akhirnya apa, mereka harus membeli beras, membeli mi instan, mereka berburu binatang yang semakin langka untuk mereka jual dagingnya untuk mereka beli beras, mi instan, dan minum berpemanis. Itulah gastrokolonialisme yang terjadi."
Baca Juga: Khazanah Alam Nusantara: Narasi Kedaulatan Pangan dalam Seni Botani
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR