Demi Kelestarian Bumi, Ayo Bertukar Baju!

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 6 Mei 2019 | 14:37 WIB
Pertumbuhan mode dan tren busana yang cepat telah menimbulkan dampak limbah tekstil. Bertukar baju antarwarga kota menjadi salah satu solusi memperlambat laju limbah tersebut. (chokja/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id— Baju dan celana kita bertumpuk-tumpuk di dalam almari? Mungkin kita perlu meluangkan waktu untuk berpikir sejenak, berapa banyak sejatinya pakaian yang kita butuhkan?

Apapun jawaban kita, beberapa kota besar di dunia telah dijangkiti fenomena konsumsi busana yang berlebihan.

Ellen McArthur Foundation, sebuah badan amal di Inggris yang menyerukan perilaku bijak dalam mengonsumsi busana, merilis hasil risetnya tentang sampah tekstil pada 2017. Temuannya, satu truk sampah tekstil tercipta setiap detik di Bumi. Masih pada tahun yang sama, Copenhagen Fashion Summit melaporkan bahwa sebesar 92 juta ton limbah busana mengalir ke tempat pembuangan sampah setiap tahunnya.

Beragamnya mode busana dan tren yang berubah dengan cepat tampaknya membuat kita selalu ingin tampil atau eksis dalam komunitas. Kendati, pada kenyataannya, apa yang kita miliki telah melebihi kebutuhan kita dalam berbusana. Kita berhenti sejenak untuk menengok bahwa busana yang kita kenakan sejatinya memiliki dua dunia.

Baca juga: Bersama-sama Melestarikan Lingkungan Mangrove di Bangkalan Madura

Pertama, dunia pengguna atau sisi permintaan. Setiap hari, kita mengenakan busana, yang memiliki komposisi dasar poliester, nilon, dan spandeks. Artinya, busana kita tak terbebas dari materi plastik. Cerita sehelai baju pun bermula. Ketika baju bermateri plastik dicuci, partikel mikro plastik yang terlepas pun mencemari lingkungan—air tanah, sungai, hingga lautan dan ekosistemnya. Satwa laut yang menjadi pasokan pangan pun mikroplastik.

Kedua, dunia pemasok atau sisi penawaran. Banyak industri busana yang menggunakan material kimia yang tak ramah lingkungan, dan atau mempekerjakan buruh dengan upah minim dalam proses produksinya.

Cara berpikir sirkuler ini bisa menginspirasi masyarakat untuk memikirkan kembali, mendesain kembali, dan membangun masa depan melalui kerangka ekonomi sirkuler.

Bagaimana upaya masyarakat Indonesia untuk mengurangi limbah busana? Sebuah komunitas yang memiliki misi kepedulian lingkungan dan pengurangan sampah menggelar kegiatan bersama bertajuk #TukarBaju pada Sabtu, 4 Mei silam di Kebayoran, Jakarta Selatan.

Partisipan #TukarBaju yang digelar oleh Zero Waste Indonesia di CoHaus, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. (Diky Wahyudi Lubis)

Amanda Zahra Marsono, Public Relation untuk Zero Waste Indonesia yang sekaligus selaku Project Manager dalam kampanye #TukarBaju, mengungkapkan bahwa kegiatan ini merupakan kampanye yang digagas oleh komunitasnya. Pada 2018, mereka berfokus pada pengurangan sampah plastik. Sampai kini, beragam kampanye yang digelar berbagai komunitas telah melahirkan banyak petisi dan regulasi pemerintah terkait penggunaan plastik sekali pakai.

Menurutnya, jangan sampai dengan hangatnya isu plastik ini membuat masyarakat lupa bahwa masih banyak sampah-sampah jenis lain yang dihasilkan setiap individu. “Salah satunya, yang paling berpolusi dan berkontribusi besar—baik di lautan maupun di tempat pembuangan akhir—adalah sampah dari industri fesyen. Atau, limbah tekstil.” Amanda menambahkan, “Kampanye #TukarBaju ini bertujuan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat bahwa apa yang kita pakai sehari-hari ini bisa menjadi sampah,” kata Amanda. “Dan, sepanjang 2019, kami akan memfokuskan kampanye terhadap limbah tekstil.”

Ia berharap dari kegiatan #TukarBaju, semakin banyak orang yang mengerti bahwa konsep bertukar atau barter baju—clothing swap—bukan sebagai kegiatan yang baru lagi. “Kami mau konsep bertukar ini dianggap menjadi sesuatu yang lazim.”

Kegiatan ini dipicu maraknya Tren fast fashion telah mendorong beragam merk busana di gerai-gerai atau pusat perbelanjaan untuk merilis koleksi busana terbaru mereka sebanyak puluhan atau ratusan dalam seminggu.

“Mengapa kami menggunakan #TukarBaju?” kata Amanda, “Karena target marketnya adalah orang-orang yang memang suka bergonta-ganti busana tetapi mereka tak perlu baju baru. Apalagi bila orang itu memiliki tingkat kebosanan tinggi.” Tentu, tak sembarang baju yang bisa ditukar, kondisi baju harus bersih, layak pakai, tidak bernoda, tidak lusuh, dan tidak ketinggalan zaman. Baju yang diterima akan diperiksa dan dikurasi terlebih dahulu.

Baca juga: Terlalu Banyak Turis Berdampak pada Lingkungan? Bagaimana Solusinya?

Tujuan utama kampanye ini untuk membangkitkan kesadaran. Selanjutnya, Amanda memiliki keinginan bahwa acara ini tidak cukup dilaksanakan sekali saja. “Kedepannya, kami mau mengadakannya di berbagai kota— Jakarta, Bali, Yogyakarta, Surabaya, dan Bandung—sepanjang tahun ini,” ujarnya. “Kami masih komunitas kecil, yang secara sumber daya lalu penyediaan dana belum betul-betul tercukupi karena penyelenggaraan di kota besar membutuhkan relawan yang banyak.”

Sejatinya komunitas ini berkeinginan untuk mewujudkan salah satu impiannya, yang kelak turut mendukung kampanye mereka. “Zerowaste Indonesia ingin memiliki usaha bisnis berbentuk wirausaha sosial,” sambungnya. Amanda mengatakan cita-cita gerakan kepedulian lingkungan ini tidak hanya mendapatkan profit, tetapi juga bisa mengembalikan profit untuk keberlangsungan hidup manusia dan lingkungan. “Kami memilih untuk membuat toko fisik permanen,” ungkapnya. “Kami sangat berkeinginan untuk mewujudkan #TukarBaju dalam bentuk toko fisik permanen.”

Acara #TukarBaju hari itu diikuti 136 partisipan. Salah satunya adalah Andini, berdomisili di Tangerang Selatan, yang terkesan dengan kampanye pengurangan limbah busana ini. “Menarik banget,” ujarnya. “Kita bawa baju dan kita dapat baju baru dalam jumlah yang sama. Ini seperti barter zaman dahulu, ya,” imbuhnya. Ia pun menginginkan acara serupa digelar rutin, tidak hanya di Jakarta, dan beragam barang. “Jangan cuman baju dewasa, tetapi baju anak, mainan, buku, dan sepatu.”

Tiba saatnya untuk kembali berpikir. Mungkin kita memiliki terlalu banyak pakaian melebihi kebutuhan. Tampaknya kebiasaan berbelanja demi mengejar tren mode terkini tak sepenuhnya menjamin kebahagiaan hakiki. Bertukar baju pun menjadi langkah alternatif untuk mengurangi sampah busana dan limbah tekstil demi Bumi yang lebih baik.