Nationalgeographic.co.id – Manusia telah memengaruhi kondisi cuaca kompleks di Bumi selama satu abad terakhir. Akibatnya, beberapa daerah menjadi semakin kering sementara yang lainnya justru lebih basah.
Melalui sebuah penelitian terbaru yang dipublikasikan pada jurnal Nature, para peneliti mengatakan, fenomena ini akan terus berlanjut dengan konsekuensi yang semakin buruk juga untuk manusia.
Untuk mendapatkan hasil studi tersebut, para ilmuwan mendeteksi ‘jejak’ pemanasan global akibat ulah manusia yang memengaruhi pola kekeringan, kelembapan, dan suhu di seluruh dunia sejak 1990.
Khusus untuk penelitian ini, tim juga menganalisis curah hujan dan kelembapan tanah untuk menentukan perubahan sistemik pada hidroklimat yang sudah berlangsung.
Baca Juga : Lubang Misterius Terus Muncul di Antartika, Apa Penyebabnya?
Pemodelan komputer dengan pengamatan jangka panjang terhadap cincin pohon berusia 900 tahun memungkin para ilmuwan memperkirakan kelembapan tanah sebelum dan sesudah Revolusi Industri untuk menentukan apakah keduanya berkaitan.
Untuk pertama kalinya, mereka berhasil mengidentifikasi efek jangka panjang persediaan air yang vital bagi tanaman dan perkembangan kota secara global.
“Hal besar yang kami pelajari adalah bahwa perubahan iklim mulai memengaruhi pola kekeringan global pada awal abad ke-20. Kami menduga, pola ini akan terus muncul sering berlanjutnya perubahan iklim,” kata Benjamin Cook, pemimpin penelitian.
Bersama-sama, para ilmuwan memecah studi menjadi tiga periode. Yang pertama, dari 1900 hingga 1949, tanda pemanasan globalnya paling jelas. Pada masa ini, kekeringan tanah terlihat di Australia, Amerika Tengah dan Utara, Eropa, Mediterania, Rusia Barat, dan Asia Tenggara. Sementara di Tiongkok Barat, Asia Tengah, India, Indonesia, dan Kanada Tengah, kondisinya lebih basah. Prediksi ini diketahui dari hasil pemodelan komputer dan analisis cincin pohon.
Periode selanjutnya, antara 1950 hingga 1975, cuaca sepertinya lebih tidak menentu. Para ilmuwan menemukan fakta bahwa sejumlah besar aerosol industri dilepaskan ke udara pada masa itu dan polusi pun dianggap sebagai ‘hal biasa’. Pencemaran udara memengaruhi pembentukan awan, curah hujan, dan suhu hingga menutupi efek gas rumah kaca.
Mulai tahun 1970-an, banyak negara menerapkan undang-undang udara bersih yang ketat yang memungkinkan tingkat aerosol atmosfer turun atau turun. Namun, emisi gas rumah kaca terus meningkat hingga hari ini, menghasilkan peningkatan suhu dan tanda tangan pemanasan global pada hidroklimat yang semakin nyata dalam beberapa tahun terakhir.
Di awal 1970-an, banyak negara menerapkan “undang-undang udara bersih” yang diharapkan dapat menurunkan jumlah aerosol di atmosfer. Namun, kenyataannya, emisi gas rumah kaca terus meningkat hingga hari ini–menunjukkan kenaikkan suhu dan pemanasan global yang semakin parah.