Telisik Sejarah Nusantara, Ketika Sunda dan Cina Saling Bercerita

By Agni Malagina, Rabu, 15 Mei 2019 | 12:54 WIB
Naskah sunda Siksa Kandang Karesian yang mencatat kosakata Cina yang erat berhubungan dengan kain sutra dan peranti dari Cina pada masa jalur sutra laut dan masa ekspedisi Cheng Ho. (Rahmad Azhar Hutomo)

Nationalgeographic.co.id - Kelindan Sunda Cina tidak hanya bicara sutra, kaca, dan lada. Mereka membangun harmoni di jalur rempah nusantara.

Ketika dua bangsa saling menggambarkan imaji tentang mitra mereka dalam naskah kuno, tampaklah kelindan keduanya dalam hubungan sosial. Penggambaran ide mengenai suatu tempat yang tersurat dalam naskah kuno sudah menjadi bagian dari sejarah dunia terutama dalam masyarakat yang memiliki tradisi tulis. Tak terkecuali Nusantara juga memiliki daerah-daerah dengan budaya tulis naskah seperti Sunda.

Sunda dan Cina, dua bangsa yang bertautan di Jalur Rempah, menuangkan imaji liyannya dalam naskah kuno mereka. Pengaruh budaya Cina di Tatar Sunda sudah sekian lamanya melesap dalam kekayaan batin orang Sunda. Lewat khasanah naskah-naskah kuno, kita dapat mengetahui cuplikan hubungan dan interaksi bangsa-bangsa yang datang ke Nusantara. Tidak sekadar berdagang, mereka juga menggelar misi pendidikan atau misi diplomasi. Kehidupan bertukar budaya dan pengetahuan pun begitu harmoni.

Baca Juga : Riwayat Rempah sang Pembentuk Peradaban Dunia

Bagaimana orang Sunda masa lalu memandang orang Cina?

Negeri yang disebut sebagai contoh adalah Cina, demikian menurut penulis naskah Siksa Kandang Karesian pada 1518. Jika kita lama tinggal di ne-geri Cina, kata sang penulis, haruslah mengetahui kebiasaan, sifat, dan pe-rilaku orang Cina. Demi melancarkan tugas perdagangan dan pergaulan internasional, seorang duta diperlukan. Naskah ini menyebut duta sebagai jurubasa darmamurcaya. Tampaknya, orang Sunda memang berbakat sebagai duta besar.

Seorang rahib kelana, Bujangga Manik, yang mengembara ke timur untuk mencari ilmu pada abad ke-15, dinarasikan keagungannya melalui penggambaran busana berselendangkan sutra Cina. Naskah Sunda kerap menyebut Cina sebagai importir barang mewah dan bermutu tinggi, seperti kain sutra.

Naskah Sunda klasik juga memberi petunjuk bahwa bukan hanya kain yang menjadi barang impor Cina. Seringkali muncul istilah kaca Cina, yang mengesankan barang mewah milik keluarga raja. Perempuan Sunda disebut cantik jika matanya berbinar layaknya kaca Cina, bukan kaca dari daerah lain.

Baca Juga: Kisah Jo Cameron, Perempuan yang Tak Pernah Mengalami Rasa Sakit

Salah satu kotak kayu penyimpanan naskah sunda kuno yang bercorak Cina. Warna merah dalam kebudayaan Sunda dan Cina memiliki makna sakral sebagai simbol kedewasaan. (Rahmad Azhar Hutomo)

Bagaimana orang Cina masa lalu memandang orang Sunda?

Kata Sunda tercatat dalam kronik Cina sejak abad ke-13 dalam naskah tulisan Chaujuka (Zhao Ru Gua)—Zhu Fan Zhi (Catatan dari Negri Asing) 1225—dengan sebutan ‘Xintuo’ Sint’o. Naskah itu menunjukkan hubungan dagang dan diplomatik Sunda-Cina sudah tercatat dalam kronik Cina, sebelum naskah Sunda mencatatnya.

Sunda dalam naskah Cina digambarkan sebagai kerajaan makmur de--ngan hasil bumi berupa lada, semangka, tebu, labu botol, kacang-kacangan, dan terung. Chaujuka—pengawas perdagangan maritim di Quanzhou—menulis, di Sunda jarang terdapat pedagang asing. Nama Sunda pada naskah Cina kuno berikutnya menempel pada penggambaran Jawa dengan nama ‘Sun La’ dalam kronik Cina bertarikh 1339 berjudul Daoyi Zhilue (Catatan Singkat dari Negeri Asing) karya Wang Dayuan. Naskah Cina Ming Shi bagian Cheng He Zhuan (Kitab Sejarah Dinasti Ming bab kisah perjalanan Cheng Ho) sezaman dengan Siksa Kandang Karesian. Nama Sunda tercatat dengan kata ‘Sun La’. Demikian pula nama Sunda tercatat dalam naskah Cina Xiyang Chaogong Dianlu (Catatan Pemberian Tribut dari Asia Tenggara) dengan kata ‘Xun Ta’.

Teks Oleh Aditia Gunawan dan Agni Malagina