Telisik Awal Sastra Melayu-Tionghoa Lewat Syair Iklan Abad ke-19

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 12 Mei 2019 | 09:00 WIB
Litografi yang menggambarkan perayaan Cap Go Meh pada 1880-an yang menggambarkan keceriaan dua budaya di Batavia. Litografi berdasarkan lukisan oleh Josias Cornelis Rappard sekitar 1883-1889. (Tropenmuseum/Wikimedia)

Kemudian Agni melanjutkan, “Mereka juga masih fasih berbahasa Cina karena masih terhitung totok, sehingga bisa menerjemahkan karya-karya Cina ke dalam bahasa Indonesia yang pada akhirnya kisah-kisah itu digemari di Hindia Belanda.”

Menurut syair gubahan Ting Sam, roman yang diterjemahkan dari Tiongkok antara lain: Samkok (Roman Tiga Kerajaan), Hong Kiauw Lie Tan (Ratu Wu Zetian menggulingkan Dinasti Tang), Lek Bo Tan (Bunga Punia Hijau), Tjhit Liap Sing (ketujuh bintang), See Ijoe (perjalanaan ke barat), Tan sha-Go nio (cerita jenaka), Tjerita Khong Hoe Tjoe (buku cerita untuk anak-anak), hingga Sam Pik — Ing Taij (roman percintaan Tiongkok ala Romeo dan Juliet) yang kerap dipentaskan di gedung pertunjukan mutakhir.

Boekoe Sam Pik Ing Taij soedah lah njata,Tjerita lakie prampoewan menaroeh tjinta,Tetapi apa maoe die kata,Menoeroet boekoe Tjina poenja tjerita.