Nationalgeographic.co.id— Suatu siang di teras Klenteng Kwan Im Bio Gunungsindur. Seorang perempuan muda menggelar dagangan berupa aneka giwang, kalung, cincin, hingga jam tangan bermerk sohor namun tiruan. Setengah lusin lelaki desa duduk mengerumuninya. Perempuan itu berbicara bahasa Mandarin, sedikit mengerti bahasa Indonesia dan nyaris tidak bisa berbahasa Inggris. Mereka bertransaksi dengan cara kuno: bahasa isyarat—dan uang tunai tentunya. Tampaknya, hari itu dia mengantongi ratusan ribu rupiah.
Dari sekian lelaki, hanya Budi yang mampu berbincang dengan perempuan itu. Dia seorang penjaga klenteng yang telah berusia 73 tahun, asal Bogor. Warga terbiasa memanggilnya dengan julukan “Encek Bio”—paman penunggu klenteng. “Gue dulu sekolah di Pa Hoa,” ujarnya dengan suara serak ketika saya bertanya bagaimana dia bisa berbahasa Mandarin. “Ya, Tiong Hoa Hwe Koan—THHK.” Budi menjadi pelajar Pa Hoa sekitar sembilan tahun, 1950-1959. Dia cukup beruntung, ayahnya menjabat dalam sebuah dewan di sekolah tersebut. “Gue ngga bayar kalau sekolah,” ujar Budi. “Papa gue Bestuur Pa Hoa, namanya Tjoe Tan Boen Seng.”Nama “Pa Hoa” merupakan kependekan dari “Patekoan Tiong Hoa Hwe Koan”, lantaran berlokasi di Jalan Patekoan—kini Jalan Perniagaan. Sekolah ini berdiri pada 17 Maret 1901, tepat setahun setelah berdirinya perkumpulan modern warga Cina di Batavia, Tiong Hoa Hwe Koan (THHK).
Baca juga: Benteng Makasar, Kenangan Sepetak Pecinan Tangerang di Zaman VOCDalam perkumpulan THHK, warga Cina dapat saling mengembangkan ilmu pengetahuan, budaya, dan ajaran agama Konghucu. Perkumpulan ini juga mengajak warganya, baik totok maupun peranakan, untuk mempunyai tujuan bersama sebagai warga Tionghoa. Sejak saat itu penggunaan istilah “Tionghoa” menyebar luas lewat dukungan pers, ibarat ungkapan kebanggan dengan lahirnya identitas baru warga Cina di Hindia Belanda. THHK juga berperan dalam membangkitkan rasa kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, turut memicu tumbuhnya perkumpulan kebangsaan lainnya.
THHK merupakan perkumpulan pertama di Hindia Belanda yang menggunakan kata “Tionghoa” untuk menggantikan sebuatan “Cina”. Dan, sekolah Pa Hoa, meskipun bukan sekolah perintis pengajaran untuk warga Cina, merupakan sekolah pertama yang menggunakan terminologi tersebut. Kata ‘Tionghoa’ sejatinya berasal dari dialek Hokkian untuk kata ‘Chung Hwa’ yang mengacu ke bangsa Tiongkok.
Sekolah ini lebih mendapat perhatian dari kekaisaran Cina, ketimbang dari pemerintah Hindia Belanda. Para pelajar pun mendapat kesempatan untuk melanjutkan sekolahnya ke Nanking, tanpa dipungut biaya sekolah.
Sejak 1925, bahasa yang digunakan dalam Sekolah THHK adalah Mandarin, Inggris, dan Belanda. Barangkali, inilah kali pertama sekolah tiga bahasa di Hindia Belanda. Selama 20 tahun perjalanannya, sekolah ini telah memiliki setidaknya lebih dari 200 cabang seantero Jawa dan kota-kota besar di Hindia Belanda.
Perjalanan THHK mengalami pasang-surut selama seabad lebih—sempat mati suri selama Orde Baru. Kini istilah Tionghoa telah kembali menjadi identitas dan sebutan alternatif bagi warga Cina asal Indonesia. Penanda lain kebangkitannya: lima tahun silam, para alumni Pa Hoa mendirikan sebuah sekolah dengan nama yang sama, Sekolah Terpadu Pahoa, di tepian Sungai Cisadane, Tangerang.
Sebuah pesan terbuka dari pengurus perkumpulan itu pada pertengahan 1900 di Batavia bahwa pengajaran baik akan membuat orang tidak mudah berbuat jahat atau tidak mudah berlaku buruk. Kalaupun orang itu berbuat jahat atau berlaku buruk, kelak dia segera merasa menyesal dan malu kepada dirinya sendiri.
Tampaknya pengurus THHK juga mewariskan pesan abadi mereka untuk semua generasi: “Meninggalkan harta besar pada anak, tida ada lebih baik dari membriken kepadanja soewatoe kapandean.”
Baca juga: Koran Kuno tentang Peran Tuan Tanah Cina dalam Pendidikan di Tangerang