“Kedatangan seorang tamu selalu akan disambut dengan tangan terbuka,” ungkap Liem Thian Joe, seorang jurnalis kawakan di Semarang. “Tetapi berhubung telah terjadi perubahan anggapan dan perubahan zaman, maka hubungan baik itu perlahan-lahan akhirnya berubah juga, hingga orang perlu tempat bermalam atau hotel.”
Pada masa-masa sebelumnya, demikian menurut Liem, orang-orang Tionghoa yang sedang dalam perjalanan tidak perlu khawatir tidak mendapat tempat menumpang tidur. Apalagi kalau mereka diterima warga setempat yang masih satu marga.
Semarang merupakan kota yang pernah hidup dari lengkingan peluit dan dengusan mesin uap kapal. Persinggahan nan sibuk sejak zaman klasik, hingga kini. Sejumlah hotel papan atas yang didirikan pengusaha Eropa pun menambah semarak fasilitas kota—Hotel Jansen, Hotel Centrum, Hotel du Pavillion, Hotel des Indes, hingga Hotel Insulinde.
Seorang warga Pecinan Semarang yang bernama Kwee Kiem Jong tampaknya melihat peluang bisnis baru di kampungnya yang kian ramai. Pada 1880-an, Kwee membangun penginapan di sepetak lahan di dekat pertigaan Gang Besen dan Gang Pinggir, tak jauh dari sumber air yang dijuluki warga pecinan sebagai “sumur umbul”. Lokasinya cukup strategis dan menjadi penanda kawasan; tak hanya dipersimpangan, tetapi juga tepat di seberang Klenteng Liong Hok Bio yang berdiri sekitar dua dekade sebelum hotel tersebut.
“Tjia Tjia Kie” demikian Kwee menamai penginapan berarsitektur pecinan yang merupakan hotel Tionghoa pertama di Semarang. “Nama penginapan itu diambil dari kata Kin cia wat, wan cia lay,” ungkap Liem, “artinya, yang dekat senang, yang jauh datang.”
Baca juga: Santri-santri Bengal Zaman Kolonial
Awalnya kisah tentang kehidupan sosial dan budaya orang-orang Tionghoa di Semarang diungkapkan Liem dalam seri catatannya yang terbit di majalah Djawa Tengah Review. Majalah yang bermoto: “Critiek Zonder Pandeng Boeloe: Kajah, Miskin, Kawan, atawa Moesoe!” itu terbit bulanan di Semarang.
Kemudian pada 1933, untaian tulisan Liem dalam majalah itu disatukan dalam buku berjudul Riwajat Semarang : dari djamannja Sam Poo sampe terhapoesnja Kongkoan. Lalu, sekitar satu dekade silam buku tersebut diterbitkan ulang.
Bagaimana nasib hotel “Tjia Tjia Kie” hari ini?
Muhammad Yogi Fajri, ketua komunitas sejarah Lopen Semarang yang kerap menyelisik sejarah kota tua, mengatakan bahwa bangunan hotel tersebut telah berganti dengan bangunan baru yang meninggalkan ciri pecinannya. Entah sejak kapan bangunan itu berubah. Kini, sebuah gerai yang menyajikan kudapan khas pecinan menempati tapak Tjia Tjia Kie.
Soal sumur umbul dekat Tjia Tjia Kie seperti yang dikisahkan Liem, Yogi mengatakan bahwa sumur tersebut dahulu pernah memenuhi kebutuhan air bagi warga, namun belakangan ditutup oleh pemerintah. Kemudian, tepat di atasnya kini berdiri bangunan Kantor Kelurahan Kranggan.
Yogi juga memaparkan asal usul toponimi Gang Besen. “Banyak yang bilang dari kata besi, mungkin dahulunya banyak perajin besi atau pedagang besi di sini,” ungkapnya. Kemudian dia melanjutkan pemerian sosial dan arsitektur kawasan, “Seperti kebanyakan bangunan di kawasan pecinan, kawasan ini dipenuhi toko, namun di Gang Besen beberapa arsitektur Tionghoa masih terjaga.”
Baca juga: Suku Maya Kerap Gunakan Kepala Manusia Sebagai Tempat Membakar Dupa
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR