Nationalgeographic.co.id— “Aku anak Benteng tapi di kota,” ungkap Mona Lohanda lewat surat elektronik kepada saya beberapa waktu silam. “Rumah sakit tempat aku dilahirkan adalah rumah sakit umum yang dibangun Belanda.”
Mona merupakan seorang warga prominen Cina Benteng yang dikenal juga sebagai peneliti sejarah Batavia. Selama empat dekade, ia telah menekuni dunia kearsipan di Arsip Nasional Republik Indonesia. Kini ia telah pensiun.
Sebuah benteng VOC di tepian Sungai Cisadane telah mengukuhkan sebuah identitas pecinan di sisi selatannya, dengan julukan "Cina Benteng". Sebutan itu meluas ke pedalaman, seiring meluasnya permukiman Tangerang. Sampai hari ini pun orang masih menyebut kawasan sekitar pecinan Pasar Lama Tangerang dengan julukan ‘Benteng’.
Garda pertahanan terdepan di barat Batavia itu dibangun sekitar 1683-1685 tatkala menegangnya hubungan antara VOC dan Banten. Kemudian diperbesar dan diperkuat sekitar 1730-an.
Sayangnya, penanda peradaban kota itu telah lenyap. Namun demikian, beberapa ruas jalan yang membelah permukiman di sekitar bekas lokasi benteng itu bertoponimi “Benteng Makasar”—karena personel kubu pertahanan VOC itu didatangkan dari Makasar.
"Benteng itu sulit diketemukan jejaknya,” ungkap Mona. “Yang aku tahu, tidak pernah ada penggalian-penelitian arkeologis. Aneh juga ya?”
Mona dilahirkan 71 tahun silam dan dibesarkan di sepetak kawasan dengan lajur-lajur gang yang bertoponimi Benteng Makasar. “Itu ternyata,” ungkapnya, “sesudah aku tahu sejarah, adalah daerah 'Chineesche wijken', bersebelahan dengan gang Benteng Makasar.”
Dahulu kala, warga peranakan Cina Benteng merupakan komunitas kebanyakan yang menghuni Tangerang. Warga lokal yang bukan peranakan adalah Betawi Udik.
Sekitar enam dasawarsa sebelum benteng itu dibangun, VOC telah mengerahkan berbagai kelompok suku untuk menghuni Kota Batavia dan kawasan sekitarnya. Mereka ditempatkan di pinggiran untuk menggarap tanah milik kongsi dagang itu, dan alasan menjaga keamanan di perbatasan. Sejarah mencatat, orang-orang Cina turut menjadi bagian utamanya. Kala industri
gula menuai manisnya tebu pada akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18, diduga terjadi migrasi akbar orang-orang Cina ke Tangerang.
Baca juga: Di manakah Hotel Pertama di Pecinan Semarang?
Penjualan tanah partikelir yang turut membuka pedalaman sisi barat Batavia rupanya justru berpangkal pada masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1809 sampai 1811. Demikian pemerian Mona Lohanda dalam tesisnya seputar sejarah keberadaan orang-orang Cina dalam masyarakat kolonial.
“Intensitas penjualan tanah-tanah itu memang terjadi di masa Daendels, karena butuh dana,” ungkap Mona kepada saya. Daendels menghadapi kas yang kocar-kacir lantaran Negeri Belanda tengah menghadapi Perang Napoleon. Dialah yang merencanakan penjualan tanah-tanah sekitar Batavia kepada publik demi mendapatkan likuiditas bagi program pertahanan Hindia Belanda. Dalam kesempatan penjualan itu, menurut Mona, segelintir orang Cina turut membeli tanah di sekitar Tangerang. Dan, sejak saat itu berangsur-angsur banyak pemukim Cina merambahi kawasan tersebut.
Baca juga: Prosesi Pemakaman Megah Sang Mayor Cina Pelindung Besar Kesenian Jawa
Liuk lampai Sungai Cisadane membelah hamparan tanah subur yang pernah dimiliki oleh sebagian besar opsir Cina pada abad ke-19. Bertumpu pada catatan Mona, kawasan Tanjungburung, Rawakidang, Kramat, dan Kapuk dimiliki Mayor Tan Eng Goan yang kemudian—karena bangkrut—berpindah ke penerusnya, Mayor Tan Tjoen Tiat. Daerah Sepatan, Karang Serang Laut, Karang Serang Dalam, dan Rajeg dikuasai oleh Kapiten Lie Tjoe Tjiang. Dan, masih ada sederet nama opsir Cina lainnya hingga awal abad ke-20. Tampaknya sejarah itu menjadi salah satu alasan, menurut Mona, sampai pada akhir abad ke-19 Tangerang merupakan kawasan dengan populasi warga Cina terbanyak seantero Batavia dan sekitarnya.
Para tuan tanah Tangerang itu tidak bekerja untuk menumpuk harta belaka. Saya menemukan sebuah tumpukan koran Bintang Timoer terbitan 29 Mei 1875 yang berdebu dan merepih di Perpustakaan Nasional. Koran itu menyebutkan Souw Siauw Tjong, seorang filantropi dan letnan tituler, mendirikan sebuah sekolah anak-anak di Mauk. Setahun sebelumnya, koran itu mengabarkan tentang Tan Tjeng Po, asisten residen dan tuan tanah, yang mendirikan sekolah untuk anak-anak di tanah miliknya di Batu Ceper.
Hasil pertanian utama tanah partikelir milik para opsir Cina di Tangerang adalah beras, yang mencukupi kebutuhan Batavia. Tebu dan indigo juga merupakan tanaman perkebunan primadona sampai awal abad ke-20.
Seruas gang di pecinan Pasar Lama Tangerang mendedahkan gebyarnya sebagai pasar becek pagi itu. Di tepian timur Sungai Cisadane inilah warga Cina Benteng dari ilir hingga udik melebur sejak zaman VOC. Dahulu kala, pemukim pedalaman mengangkut hasil kebun dengan rakit bambu lonjoran lewat sungai itu. Di Tangerang, mereka menjual semuanya, lalu kembali ke hulu dengan jalan kaki.
Pada awal sejarahnya, mayoritas warga Cina Benteng mempunyai penghidupan agraris, bukan berdagang. Mereka berbaur dengan warga setempat sehingga selayang tak dapat dikenali lagi perbedaan ragawinya. Beberapa dekade terakhir ini, mereka beralih menjadi pengusaha, pedagang, pemilik pabrik, buruh angkut, tukang becak—hingga pengemis.
Saya terimpit aroma sayuran basah yang berbaur dengan amisnya ikan laut segar, asap babi panggang yang menguar, dan semerbak parfum oplosan yang terpapar. Dalam silang selimpat itu, tampak sederet rumah berlantai dua yang berlanggam Cina, diduga tinggalan sebuah perkumpulan cendekiawan sekitar abad ke-18. Seorang warga setempat membeli sebagian dan melestarikannya. Sejak delapan tahun silam, rumah itu diresmikan menjadi museum. Museum Benteng Heritage, yang buka seusai jam berjualan pasar, mengabadikan kelindan budaya Indonesia-Cina.
Mona berkisah tentang perubahan Kota Tangerang kepada saya. Sekolah dan rumah sakit tempatnya lahir telah menjelma menjadi perkantoran. “Lay out kota banyak berubah, dan hampir sulit dikenali,” ungkapnya. “Komposisi penduduk juga berbeda banyak.”
Dahulu kala, warga peranakan Cina Benteng merupakan komunitas kebanyakan yang menghuni Tangerang. Warga lokal yang bukan peranakan adalah Betawi Udik. Umumnya mereka bertani. Bahasanya yang mereka gunakan tidak berbeda dengan dialek Betawi pinggiran.
Sementara, menurut Mona, warga pendatang kawasan ini adalah mereka yang hanya berprofesi sebagai pegawai negeri, guru, tentara, dan polisi. Mereka yang berbahasa Sunda pun umumnya berasal dari daerah Banten-Serang. “Tapi sekarang, wah, beraneka ragam lah,”
Tatkala pembentukan sistem swatantra, lanjut Mona, Tangerang tidak lagi menjadi bagian dari residensi Batavia. Kota kecil di barat Jakarta itu menjadi kabupaten, dan termasuk Jawa Barat. “Sekarang malah jadi Provinsi Banten,” ungkapnya, “padahal dari entitas bahasa dan budaya, kita ini Betawi, lho.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR