Nationalgeographic.co.id - Dikenal sebagai makanan khas Purwakarta, sate Maranggi cukup disenangi banyak orang. Bagaimana tidak, ia memiliki citarasa yang begitu kuat karena bumbu rendaman yang dipakai sebelum sate dibakar. Dengan begitu, tak perlu lagi didukung dengan saus kacang sebagai siraman.
Sebenarnya bagaimana asal usul Sate Maranggi? Tak banyak yang tahu bahwa sate Maranggi memiliki sejarah panjang yang menarik untuk disimak. Ia memiliki akulturasi dari unsur budaya, agama, serta geopolitik.
Baca Juga: Mengenal Empat Jenis Perbudakan yang Pernah Terjadi di Afrika
Menurut Chef Haryo Pramoe, Sate Maranggi sebenarnya berasal dari para pendatang dataran Tiongkok yang menetap ke Indonesia, khususnya di daerah Jawa Barat atau para pendatang yang hidup di tengah-tengah masyarakat Sunda.
Oleh karena itu, lanjutnya, awalnya Sate Maranggi sebenarnya bukan terbuat dari daging sapi atau kambing seperti sekarang ini, melainkan dibuat dari daging babi.
Salah satu indikasi Sate Maranggi berasal dari Tiongkok karena bumbu rempah yang digunakan sama persis dengan dendeng babi dan dendeng ayam yang dijual di Hongkong, Tiongkok, dan Taiwan.
Kemudian Sate Maranggi pun bertransformasi.
"Terjadi asimilasi, di mana terjadi perkembangan budaya. Ajaran Islam masuk, banyak penduduk yang belajar Islam dan menjadi mualaf, dijelaskan jika babi haram kemudian berubah menjadi daging sapi. Ini adalah bentuk perkembangan kebudayaan," ungkap Chef Haryo yang pernah memasak Sate Maranggi di World Halal Food Festival di Ning Xia, Tiongkok, tahun 2014.
Baca Juga: Bagaimana Situasi Ramadhan di Indonesia Saat Penjajahan Belanda?
Selain Sate Maranggi, Chef Haryo dan para peneliti serta penulis buku juga mengatakan jika sebenarnya banyak resep makanan di Indonesia yang menyerap resep masakan Tiongkok. Makanan-makanan tersebut aslinya mengunakan daging babi.
"Ada bakso, bakpao, bakmi, kata 'ba' sebenarnya berasal dari kata babi. Makanan sangat mudah menyerap dalam suatu budaya," tambahnya.
"Tetapi sesuai perkembangan dan ajaran agama Islam yang kuat di Indonesia, makanan juga menyesuaikan. Urusan klaim mengklaim makanan itu sebenarnya sudah berunsur geopolitik."