Pelukis Affandi Koesoema dan Takdirnya dalam Naungan Daun Pisang

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 18 Juni 2019 | 08:00 WIB
Affandi dalam kesempatan Paris Exhibition, 1953. (Wikimedia)

Baca juga:  

Hudan Fahri, menantu Kartika Affandi yang memandu pengunjung, menjelaskan latar belakang poster karya Affandi yang menggugah rasa patriotisme. Sosok lelaki yang menjadi model adalah pelukis Dullah. Teks (Mahandis Yoanata Thamrin)
 

Saya mujur berjumpa putri tunggal pasangan Afandi dan Maryati itu pada suatu kesempatan yang tak disangka di Kafe Loteng, Museum Affandi. Perempuan kerap bertopi bundar dengan hiasan bunga warna-warni itu masih bersemangat melukis, kendati pada akhir tahun ini usianya 82 tahun. Kegemaran baru Kartika: melukis bunga-bunga ekspresif pada tas kulit milik tetamu.

Kartika berkisah, pada 1962, Affandi membeli tanah di bantaran Kali Gajahwong, tepian jalan raya Yogyakarta-Surakarta. Tanahnya murah karena bekas tempat pembuangan sampah yang letaknya lebih rendah dari jalan raya. “Bagi orang yang percaya fengshui, lokasinya memang tidak bagus,” ujarnya, “Tapi, kenyataannya ya Alhamdulillah.”

Arsitektur museum ini sungguh unik dan sesungguhnya memiliki kisah filosofis di baliknya. Pada awal abad ke-20 di Cirebon, Affandi kecil dan dua saudara perempuannya menderita cacar nanah yang mematikan. Saat itu pengobatan masih sederhana, mereka tidur beralas dan berselimut daun pisang—supaya tidak dikeroyok lalat. Dua saudara kandungnya wafat, namun Affandi selamat. Daun pisang yang menyimpan rasa dingin itu menjadi berkah bagi kehidupan Affandi. Demikianlah cerita di balik latar belakang arsitektur kompleks museum yang lebih mirip daun pisang. Kompleks yang mewadahi empat galeri itu dibangun secara bertahap dan dirancang sendiri oleh Affandi.