“Cariyos Taman Cikini tuwin griyanipun Raden Saleh,” tulis Raden Arya Sastra Darma dalam catatan melancongnya yang berbahasa dan beraksara Jawa. “Kisah tentang Taman Cikini ketika menengok rumah milik Raden Saleh,” demikian apabila dialihbahasakan.
Raden Arya, yang berasal dari Jawa, tiba di Batavia pada 15 Oktober 1865. Dia menginap di sebuah rumah milik sahabatnya yang berada di Jalan Tanah Nyonya No.38, dekat kawasan pecinan Pasar Senen, Weltevreden, Batavia. Beberapa hari setelah kedatangannya, bersama sahabatnya, dia memulai melancong ke Taman Cikini dan menyaksikan kemegahan rumah Raden Saleh Sjarif Boestaman (1811-1880), seorang yang sohor denga gelar Pelukis Sang Raja.
Catatan perjalanannya berjudul Tjarijos Negari Batawi, ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa, yang diterbitkan pertama kali di Batavia pada 1867.
Selama setahun, Raden Arya banyak menyaksikan denyut kehidupan warga setempat dan tempat-tempat yang dikunjunginya di sekitar Batavia. Catatan perjalanannya berjudul Tjarijos Negari Batawi, ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa, yang diterbitkan pertama kali di Batavia pada 1867. Kini, terbitan itu menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Selepas melewati pecinan dan rumah Tuan Musanit, komandan orang Selam di Pasar Senen, demikian ungkap Raden Arya, dirinya berjalan terus ke arah selatan menuju jembatan Kramat—kini perempatan Senen. Kemudian dia belok ke kanan, menuju Cikini.
Rumah Raden Saleh mirip dengan rumah-rumah orang Belanda, yaitu bergaya gotik, yang menurut Raden Arya karena Raden Saleh sudah mengikuti cara hidup orang Belanda.
Bunga wora-wari bang dan nanas, demikian Raden Arya berkisah, menghiasi pekarangan rumah Raden Saleh itu. Kedua gapura di sisi kanan dan kirinya dihiasi dengan patung besar berwarna hitam dan putih. Dia juga memerikan suasana dalam rumah yang berhias kursi-kursi berukir dengan lapisan beledu berwarna hijau. Betapa eloknya rumah dan taman itu hingga Raden Arya mengibaratkan bak Taman Sriwedari—taman di kahyangan.
Pada hari Minggu, 10 Juni 1866, atau delapan bulan kemudian, Raden Arya kembali mengunjungi rumah pelukis sohor itu. Namun, kali ini dia berkesempatan menyaksikan museum koleksi milik Raden Saleh yang disebutnya sebagai “barang kina”—perabot antik.
Dia menyaksikan berbagai kategori koleksi Raden Saleh yang terpajan di meja kamar: pedang, keris, sabit, tombak, kelewang, gelang, kalung, cincin, bokor, hingga pinggan kuno. Raden Saleh juga menyediakan kertas dan pensil untuk tetamu yang berminat mencatat atau menggambar koleksinya—pada zaman itu sangat jarang orang yang memiliki kamera.
Kali ini dia berkesempatan menyaksikan museum koleksi milik Raden Saleh yang disebutnya sebagai “barang kina”—perabot antik.
Tidak seluruh kumpulan perabot antik itu diperoleh Raden Saleh dari pembelian, ungkapnya, tetapi sebagian merupakan hadiah dari orang-orang Belanda kepadanya. Mereka mengetahui bahwa Raden Saleh merupakan seorang kolektor perabot antik yang rajin merawat koleksinya.
Dalam catatan melancongnya, Raden Arya menulis bahwa salah satu koleksi milik Raden Saleh yang membuat kagum adalah sebuah tombak pemberian Letnan Kolonel Tumenggung Martanagara. Sejarah Perang Jawa mencatat bahwa Sang Tumenggung itu adalah seorang kepercayaan dan menantu Pangeran Dipanagara, dan jelang akhir perang dia bergelar Ali Basah Ngabdulkamil II, setara dengan panglima.
Tampaknya gelar pionir ahli peleontologi di Indonesia patut disandang pelukis itu. Raden Arya mengungkapkan bahwa koleksi tersebut bukan hanya pemberian, tetapi Raden Saleh juga mendapatkannya dari penggalian seperti temuan di kawasan Kedu dan Temanggung. Kemudian dia mengungkapkan bahwa tulang-tulang hewan purbakala itu merupakan hasil penggalian di Sentolo.
Werner Kraus dalam Raden Saleh, The Beginning of Modern Indonesian Painting mengungkapkan bahwa sejak akhir 1865 hingga paruh pertama 1866, Raden Saleh tengah sibuk melakukan ekskursi untuk melukis, berburu naskah dan fosil hingga ke Jawa Timur.
Raden Arya memang tidak mewartakan tentang pertemuannya dengan Raden Saleh. Apakah selama dua kali kunjungannya ke kawasan Cikini, Raden Arya memang tak beruntung menjumpai sang pelukis sohor itu?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR