Jakarta City Philharmonic: Pertama Kalinya Lima Bagian "Eine Kleine Nachtmusik" Dipentaskan untuk Warga Jakarta

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 1 Juni 2019 | 10:39 WIB
Budi Utomo Prabowo sebagai pengaba utama dalam konser Jakarta City Philharmonic edisi #20 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. (Eva Tobing/Jakarta City Philharmonic)

Siapa yang tak mengenal Eine Kleine Nachtmusik karya Wolfgang Amadeus Mozart? Mungkin saja kita tak mengenal judul dan lupa nama komponisnya, namun telinga kita begitu cerdas dan akrab mengenali dinamika nadanya nan lincah dan ceria.

Karya ini begitu melegenda. Sampai-sampai sebuah merk gawai seluler—yang populer dengan julukan gawai sejuta umat—pernah memasukkan karya Mozart ini dalam senarai nada deringnya. Kemudian, merk-merk gawai cerdas pada generasi dekade berikutnya pun melakukan hal yang sama.

Mozart (1756-1791) menggubah banyak serenade. Dan, serenade ketigabelasnya diberi tajuk Eine Kleine Nachtmusik, sebuah nukilan musik malam nan mungil. Ia juga mencatatnya sebagai “Serenade Nomor 13 dalam dawai G mayor, K 525.”

Orkestrasi serenade ini berbeda dengan serenade karya Mozart lainnya. Ia menggubahnya sedemikan rupa sebagai serenade untuk dua biola, viola, cello, dan bass ganda. Karya itu digubah di Wina, dan selesai pada 10 Agustus 1787, namun baru diterbitkan setelah sang komponis wafat.

Baca juga: Belajar Membaca dan Kaitannya dengan Belajar Musik Sejak Dini

Konser Jakarta City Philharmonic edisi #20 bertajuk (Mahandis Yoanata/National Geographic Indonesia)

Inilah karya instrumentalia Mozart yang boleh jadi paling populer—bahkan bagi orang yang bukan penyuka musik klasik. Karya enerjik ini sejatinya terdiri atas lima bagian, yakni: Allegro, Menuet dan Trio, Romance, Menuet dan Trio, serta Finale. Kendati demikian, karya ini lazim dipentaskan dalam empat bagian—minus Menuet dan Trio pada bagian kedua.

Selain paling populer, Eine Kleine Nachtmusik juga misterius. “Menuet dan Trio” yang pertama dari karya ini telah hilang! Entah karena keteledoran Mozart atau orang lain. Lembaran partitur pada bagian ini tidak diketahui lagi di mana juntrungannya.

Sampai pada awal abad ke-20, seorang ahli musik dan editor musik Jerman-Amerika menduga bahwa karya yang hilang itu menjelma sebagai karya transposisi Piano Sonata dalam Bes mayor, K. 498a. Ahli musik itu adalah Alfred Einstein (1880-1952), sohor sebagai editor revisi Köchel-Verzeichnis, yang berisi katalog kronologis karya Wolfgang Amadeus Mozart. Buku katolog karya Ludwig von Köchel itu terbit pada 1936.

Rabu malam yang cerah, 29 Mei 2019, Jakarta City Philharmonic (JCP) menggelar pentasnya yang kedua pada tahun ini di Gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Orkestra kota itu mengawali debut pertamanya pada November 2016, dan konser malam itu menandai perhelatannya ke-20. Keberadaan orkestra kota untuk Jakarta ini pertama kali digagas oleh Komite Musik Dewan Kesenian jakarta dan Badan Ekonomi Kreatif.

Pentas orkestra bertajuk “Serenade” diawali dengan karya Mozart ‘Eine Kleine Nachtmusik’. Kendati lazim dipentaskan hanya dalam empat bagian, untuk pertama kalinya warga dan langit Jakarta menyimak karya orkestra ini secara utuh dalam lima bagian. Ini adalah sejarah baru bagi pengalaman warga dan lintasan seni musik di metropolitan ini.

Fafan Isfandiar, Concert Master of Jakarta City Philharmonic, merupakan sosok di balik pementasan serenade karya Mozart ini sehingga bisa dipentaskan secara utuh. Kita sepatutnya mengapresiasi upaya Fafan dalam menggubah orkestrasi dari bagian yang hilang itu sebagai bagian kedua Menuet dan Trio setelah Allegro. Fafan sehari-hari berkarya sebagai pemain biola, penggubah musik, direktur musik dan konduktor AMARI JOGJA— Ansambel Musik Anak dan Remaja Jogja.

Selain menampilkan karya Mozart, Jakarta City Philharmonic juga menampilkan sederet suita malam seperti karya komponis Hugo Wolf (1860-1903), Serenade Italia; Benjamin Britten (1913-1976), Serenade untuk Tenor, Horn, Gesek; Pyotr Ilyich Tchaikovsky (1840-1893), Serenade dalam C mayor, Op. 48; dan Alfian Emir Aditya, Suita Musik Malam. Konser ini telah menghadirkan musik untuk beragam suasana hati.

Pengaba utama dalam konser ini adalah Budi Utomo Prabowo dan Vincent Wiguna sebagai pengaba tamu. Sementara itu kepiawaian vokal tenor nan takzim dari Satriya Krisna yang mengumandangkan karya Benjamin Britten, berpadu dalam alunan french horn nan menghanyutkan dari Ganang Dwi Asmoro. Kolaborasi keduanya terbukti menambah keanggunan Serenade malam itu.

Baca juga: Terungkap, Musik Cadas dan Kebisingan Kota pun 'Tak Ramah' Lingkungan

kepiawaian vokal tenor yang takzim dari Satriya Krisna yang mengumandangkan karya Benjamin Britten, berpadu dalam alunan french horn nan menghanyutkan dari Ganang Dwi Asmoro. Kolaborasi keduanya terbukti menambah keanggunan Serenade malam itu. (Mahandis Yoanata/National Geographic)

Serenade mengacu pada terminologi latin “serenus” atau dalam bahasa Inggris “serene” yang berarti anggun dan hening. Pada akhir abad ke-18, istilah serenade cenderung menggambarkan karya musik kamar yang ditujukan untuk hiburan ringan pada acara sosial. Kendati demikian, awalnya jenis musik ini melambangkan lagu-lagu malam untuk orang yang kasmaran.

Serenade begitu populer di daratan Eropa. Ketika itu, ansambel-ansambel biasa menggelar serenade di taman atau kebun di Kota Wina, tempat Mozart menghabiskan dekade terakhirnya. Tentu, seperti komponis zaman sekarang, penciptaan karya-karya semacam itu menjadi sumber pendapatan yang menguntungkan bagi mereka.

Ekspresi bermusik pada zaman Mozart mungkin berbeda dengan zaman sekarang. Kini, masyarakat kita tengah gandrung dengan teknologi mutakhir dan apapun yang sedang menjadi tren di media sosial. Sebagian dari kita pun menduga, seni musik klasik kian tidak relevan dalam menjawab kebutuhan peradaban metropolitan.

Benarkah demikian?

Dalam perjalanannya yang berabad-abad, musik klasik telah berevolusi. Jenis musik ini bukan sekadar musik yang dipentaskan di taman-taman kota sebagai hiburan warga, melainkan telah menjelma sebagai sebuah platform yang membentuk kerangka dasar untuk segala genre musisi pada hari ini. Bermain atau mendengarkan musik klasik merangsang kemampuan emosi dan kognitif sehingga memungkinkan otak kita berpikir dengan cara baru dan berbeda. Harmoni yang tercipta dalam alunan musik klasik pun digadang-gadang dapat turut membangun jiwa masyarakatnya, jiwa kota mereka.

Citra Aryandari, etnomusikolog dan pengajar Institut Seni Indonesia di Yogyakarta, memaparkan tentang kedudukan musik klasik di hati warga kita. Kita sama-sama tahu, demikian ungkapnya pada kesempatan berbeda, bahwa musik orkestra bukan berasal dari Indonesia. Meski demikian, lanjutnya, orkestra berkembang dan dianggap sebagai penanda modernitas sebuah bangsa. “Bahkan,” ujarnya, “seolah setiap negara [menjadi] tidak modern apabila tidak memiliki orkestra baik dalam bentuk simphoni ataupun philharmonic.”

Ia mengungkapkan bahwa musik orkestra pada awalnya merupakan hiburan untuk kaum aristokrat. Tentu saja, imbuhnya, menyewa para musisi dalam jumlah yang besar memerlukan biaya yang besar—biasanya didukung filantropi atau pemerintah.

“Di Indonesia, musik simphoni orkestra bukan milik semua warga,” kata Citra, “setidaknya sangat berbeda jika kita melihat dangdut.” Kendati demikian, orkestra—musik klasik atau pop—turut dipopulerkan media, khususnya dalam tayangan televisi pada dekade 1980-an hingga awal 2000-an, yang menurutnya hal itu cukup mengedukasi selera bermusik masyarakat di masa itu.

“Sampai saat ini orkestra masih dianggap mahal dan borjuis bagi warga Indonesia,” ungkap Citra. Ia melihat peminat musik jenis ini begitu sempit. Peminatnya memang ada yang benar-benar suka. Akan tetapi, tak jarang para social climber menghadiri pertunjukan orchestra, demi mendapatkan penanda kelas sosial mereka.

Jakarta City Philharmonic berupaya menyajikan repertoar musik klasik dunia kepada warga Jakarta. Dalam rilis medianya, orkestra kota ini bertekad “menyajikan musik bermutu menjadi terjangkau, tidak elitis, dan mudah disentuh.” Sampai hari ini musik masih menjadi salah satu kebutuhan mendasar bagi warga metropolitan. Kemunculannya akan memperkaya kehidupan kultural warga yang mendorong tumbuhnya sanubari-sanubari yang sehat dan harmonis dalam melihat berbagai permasalahan belakangan ini. Warga mendapat pengalaman pribadi akan betapa kuatnya pengaruh musik dalam membentuk karakter mereka.

Demi menghadirkan musik klasik yang terjangkau warga, pemerintah (Badan Ekonomi Kreatif, Pemerintah Daerah DKI Jakarta, dan Unit Pelaksana Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki) tertantang untuk mendukung peningkatan kualitas dan kesinambungan pada setiap gelaran konser JCP. Warga kota pun cukup mendaftar secara daring—dan tidak dipungut biaya. Mereka bisa menikmati program kesenian berkualitas tinggi, namun tetap terjangkau dan dapat dinikmati publik. Setidaknya, audiens pagelaran Serenade malam itu hampir memenuhi  gedung Teater Jakarta yang berkapasitas 1.200 orang. Wajah-wajah generasi milenial tampak bermunculan di bangku penonton konser ini.

audiens pagelaran Serenade malam itu hampir memenuhi gedung Teater Jakarta yang berkapasitas 1.200 orang. Wajah-wajah generasi milenial tampak mendominasi konser ini. (Eva Tobing/Jakarta City Philharmonic)

Yudi Andreas, penikmat musik klasik di Jakarta, mengungkapkan apresiasinya pada konser JCP pada kesempatan ini. “Konser Serenade ini mampu memperkaya pemahanan dan pengalaman kita akan musik klasik yang spesifik,” ujarnya seusai menyaksikan perhelatan ini. Tentu, menurutnya, perhelatan ini telah didukung oleh kemampuan kelompok orkestra kota yang sedang berkembang, namun cukup mumpuni.

Ia menambahkan kaitan antara konten yang dipentaskan dan audiens urban yang menyaksikan. “Jumlah gubahan yang dimainkan terlalu padat untuk suatu konser musik malam dengan pemerhati musik yang kebanyakan sudah penat dengan aktivitas kesibukan sebelumnya.”

Perihal perilaku para penonton konser, yang memberikan tepuk tangan sebagai tanda apresiasi kendati komposisi belum dimainkan secara utuh, ia turut memberikan saran. Komposisi terdiri atas bagian-bagian, demikian menurutnya, dan bertepuk tanganlah setelah komposisi itu selesai—bukan pada akhir setiap bagian itu. Satu lagi, menurut pemeriannya, terdapat etika tidak tertulis mengenai tepuk tangan panjang pada akhir pertunjukan sebagai pemancing encore—penampilan tambahan pada akhir konser, sebagaimana diminta oleh audiens—layaknya hadiah. “Kadang hal ini dibutuhkan untuk memberi apresiasi lebih kepada tim orkestra,” ungkapnya. “Kita membutuhkan edukasi untuk menjadikan penonton yang bermatabat.”

Yudi begitu terkesan pada bagian terakhir konser ketika JCP memainkan gubahan komposer anak negeri, Alfian Emir Aditya, yang bertajuk Suita Musik Malam. Sayang, Alfian tak bisa hadir lantaran masih menyelesaikan tahun terakhir studi selonya di Konservatorium Den Haag.

“Ini membawa kita ke suasana ringan, riang dan jenaka,” demikian ekspresi Yudi tentang orkestrasi Suita Musik Malam. “Seperti es krim cokelat berpadu dengan manisan ceri [yang disajikan] setelah hidangan santap malam yang cukup berat.”

Baca juga: Mendengarkan Musik Saat Bekerja Justru Menghambat Kreativitas?