Nationalgeographic.co.id - Perahu itu ditambatkan ke sebatang kayu dipinggir sugai. Air nan keruh, bau busuk, dan sampah yang hanyut ke hilir menjadi keseharian Maman, pengais sampah plastik di Citarum. Siang itu, dengan gagah dia duduk di bangku kayu dengan pelindung dari terik dan hujan.
Pria paruh baya ini tinggal di Sangkanhurip, Katapang, Bandung. Tak jauh dari rumahnya, air citarum mengalir deras. Jika musim banjir, debit airnya bisa mencapai jalan raya.
"Debit air yang besar biasanya menghanyutkan sampah plastik," ujar Maman. "Jika begitu, saya biasanya bekerja hingga malam."Maman mengucap syukur dari berkah debit air yang besar dari Citarum. Setidaknya, sampah yang datang semakin banyak. Kemungkinan mengumpulkan botol plastik pun semakin besar.
Baca Juga: Bakal Dapat Pinjaman Rp 1,4 Triliun, Seberapa Parahkah Pencemaran dan Sampah di Sungai Citarum?
"Jika hari-hari biasa saya bisa mengumpulkan hingga 20 kilogram botol plastik, maka kalau di Bandung hujan atau debit sedang tinggi, biasanya botol plastik yang saya kumpulkan bisa lebih banyak."Maman adalah satu dari belasan juta orang yang menggantungkan hidupnya dari sungai yang menjadi sumber air sekaligus pembuangan akhir bagi rakyat Jawa Barat. Selain itu, Citarum juga membawa petaka. Misalnya pada musim kemarau, bau busuk telah menjadi aroma nan biasa bagi warga yang berdiam di sepanjang alirannya. Masyarakat di beberapa lokasi juga hilang harapan melihat air sungai, karena gunungan plastik dan benda tak berguna lainnya telah menutup permukaan sungai menjadi daratan sampah. Citarum mengalir sepanjang 297 kilometer dari Gunung Wayang di hulu hingga bermuara di Laut Jawa. Citarum telah menjadi berkah sekaligus sumber masalah. Bagi Maman, Citarum telah memberikan rezeki dari botol plastik yang dibuang oleh warga Jawa Barat secara langsung ke Citarum maupun ke anak sungai yang bermuara ke Citarum.
Baca Juga: Warga Dunia Waspadalah! Sungai Kita Tercemar oleh Antiobiotik Parah
Di sisi lain, perilaku masyarakat yang kerap menjadikan sungai dan anak sungai Citarum sebagai pembuangan akhir seperti limbah domestik rumah tangga, industri, pertanian, dan pertambangan, membuat sungai ini semakin terluka.
Kondisi ini hampir terjadi di sebagian besar sungai di Indonesia. Pencemaran sungai telah membuat status mutu air sungai tak lagi bersahabat untuk digunakan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Data dari Direktorat Pengendalian Pencemaran Air Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2015 mencatat setidaknya 68% status mutu air sungai di 33 Provinsi di Indonesia tercemar berat. Hanya 6% status mutu air sungai yang memenuhi syarat, 24% tercemar sedang, dan sisanya tercemar ringan. Pencemaran ini diakibatkan karena beban pencemaran yang masuk setiap harinya sudah tidak sebanding dengan daya tampung sungai. Kelebihan daya tampung beban pencemaran ini berdampak besar terhadap mutu air sungai. Di Citarum saja, daya tampung sungai ini sudah tidak sebanding dengan beban pencemaran yang masuk.
"Secara garis besar total dari beban tercemar yang masuk ke Citarum adalah sekitar 430.000 kilogram perhari. Sedangkan daya tampung beban pencemarannya hanya 127.000 kilogram perhari. Jadi kita harus menurunkan sekitar 303.000 kilogram beban pencemaran lagi," ujar SPM Budisusanti, Direktur Pengendalian Pencemaran Air Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Baca Juga: Ketika Sungai Memiliki Lima Warna, Fenomena Alam di Cano Cristales