Jalur Pendakian Rinjani Batal Dipisah, Wisata Halal Masih Terus Mencari Bentuknya

By , Selasa, 25 Juni 2019 | 17:51 WIB
Gunung RInjani (Kaskus)

Dalam keterangan resmi Kementerian Pariwisata, wisata halal ditetapkan menjadi salah satu prioritas dalam lima tahun terakhir. Indonesia sendiri sudah menetapkan 10 destinasi wisata halal untuk merebut pasar itu wisatawan Muslim, dan Lombok tampil dominan.

April lalu, Indonesia ditetapkan duduk di rangking pertama sebagai destinasi wisata halal dunia oleh Crescent Rating. Malaysia duduk di posisi kedua, disusul Turki, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Pertumbuhan pasar pariwisata halal Indonesia pada 2018 mencapai 18 persen. Jumlah wisatawan muslim mancanegara yang berkunjung ke destinasi wisata halal prioritas tercatat 2,8 juta. Devisa yang terkumpul mencapai lebih dari Rp 40 triliun. Indonesia menargetkan 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada 2019 dengan 5 juta di antara mereka wisatawan muslim.

Pengamat dan dosen di Program Studi Kepariwisataan, Sekolah Vokasi UGM, Ghifari Yuristiadi menilai, Indonesia memang belum memiliki kesepahaman mengenai apa dan bagaimana pariwisata halal itu.

“Kembali pada konsep yang mendasar, kita sendiri belum sepakat pariwisata halal itu seperti apa. Terminologi wisata halal ini awal mulanya muncul dari wisata syariah, menjadi wisata Islami dan kemudian wisata halal yang dianggap sebagai istilah yang paling moderat. Kita belum menemukan deskripsi yang betul-betul bisa disepakati bersama,” ujar Ghifari.

Menoleh ke belakang, tren pariwisata halal tidak bisa dilepaskan dari naiknya sistem ekonomi syariah Islam pada periode tahun 2000-an. Pariwisata halal adalah kegiatan turunan yang dikembangkan dari tren ini. Dikatakan Ghifari, definisi paling umum yang dipakai oleh Tim Percepatan Pariwisata Halal Kemenpar, menjabarkan konsep ini sebagai pariwisata yang lebih ramah kepada wisatawan muslim.

Dalam praktiknya, sebenarnya pariwisata halal cenderung memberi kemudahan khusus bagi wisatawan muslim. Misalnya, ketika mereka harus menjalankan ibadah, maka harus ada tempat yang representatif. Begitu pula dengan menu makanan yang harus dipastikan halal. Masalahnya kemudian, lanjut Ghifari, apakah aturan-aturan yang dibuat di bawah skema ini harus mengikat kepada semua wisatawan. Bukan tidak mungkin, ada banyak wisatawan non muslim yang juga berkunjung ke destinasi halal. Di tengah situasi yang cukup rumit, menurut Ghifari, isu agama bisa menjadi sangat sensitif.

Khusus NTB yang memegang predikat tujuan wisata halal nomor satu di Indonesia, penerapan citra wisata halal dalam konteks atraksi dan destinasi juga tidak mudah. Pemerintah setempat pernah menetapkan konsep moslem friendly tourism. Tetapi bagi sebagian masyarakat NTB yang identitas muslimnya kuat, batasan itu dianggap terlalu lunak. Ghifari memaklumi jika kemudian muncul wacana pemisahan tenda di Rinjani.

Konsep ini dalam praktiknya juga tidak bisa diterapkan secara kaku. Dalam kasus NTB, ada Gili Trawangan dan gili-gili sejenis di sekitarnya, yang tidak bisa dikenakan konsep pariwisata halal. Menurut Ghifari, Indonesia harus belajar dari Malaysia, yang menerapkan kawasan tertentu secara lebih terbuka, misalnya Genting Highland yang justru menjadi pusat perjudian.

“Tetapi, ada juga hikmah dari polemik ini. Kita jadi kembali sadar bahwa kita butuh mendefinisikan dan menyepakati bersama pariwisata halal itu sendiri. Pemerintah segera menyepakati dan diturunkan dalam kebijakan yang praktis,” tambah Ghifari. (VOA Indonesia)