Pada perayaan 40 tahun berdirinya Ati Soetji pada 1954, Ibu Negara Fatmawati turut hadir dan memberikan ucapan selamat kepada Nyonya Lie. Kunjungan itu menunjukkan betapa negara menaruh kepedulian tinggi atas karya sosial Ati Soetji. Namun, pada dekade-dekade selanjutnya, tak ada catatan tentang ibu negara yang menyambanginya lagi.
Baca juga: Kehidupan Sosial Batavia di Mata Lelaki Ningrat Jawa Abad Ke-19
Sejatinya banyak kisah Tionghoa filantropis yang memerhatikan nasib anak-anak di Batavia dan sekitarnya. Di Perustakaan Nasional, saya menemukan Bintang Timor edisi 13 Mei 1874 yang mewartakan "Tan Tjeng Po" (maksudnya adalah Tan Tiang Po)—seorang letnan Cina, asisten residen dan tuan tanah—mendirikan satu sekolah atas biayanya sendiri untuk bocah-bocah desa yang mendiami kawasan tanah partikelir miliknya di Batu Ceper. Setahun berikutnya, Bintang Timor edisi 29 Mei 1875 mengabarkan lagi seorang filantropi dan letnan tituler Souw Siauw Tjong mendirikan sekolah serupa di Mauk. Sang tuan tanah itu dikenal kerap berderma, memberi makan orang miskin, dan rendah hati.
Sejak 1955 nama Roemah Piatoe Ati Soetji berubah menjadi Panti Asuhan Hati Suci, kemudian berkembang menjadi Yayasan Hati Suci. Selama seabad perjalanannya, institusi sosial ini telah berkembang tak sekadar panti asuhan, tetapi juga pendidikan dari TK sampai SMA.
Mengapa usaha nirlaba seperti ini bisa lestari? Barangkali, jawaban utamanya bukan soal kekayaan yang dimiliki warga kota, melainkan soal ketulusan hati—hati suci. “Kita tidak bisa bekerja lama di lapangan sosial,” ungkap Nyonya Lie, “jika kita sendiri tidak dikuasai oleh perasaan kasih terhadap sesama manusia.”
Baca juga: Koran Kuno tentang Peran Tuan Tanah Cina dalam Pendidikan di Tangerang