Nationalgeographic.co.id - Menjelajah Tanjungpinang tilas kerajaan Melayu Riau Lingga nan masyur di Pulau Bintan tak lengkap rasanya jika tak mengunjungi kawasan pecinan di wilayah Tanjungpinang kota dan Pulau Senggarang. Kawasan pecinan tertuanya terletak di Pulau Senggarang. Anda bisa menyeberang dari pelabuhan kapal kecil di Pelantar 1 atau Pelantar 3 Tanjungpinang kota menuju pelabuhan di Pulau Senggarang.
Tanjungpinang juga merupakan kota lama tempat terpusatnya permukiman baru masyarakat Cina Teociu dan Hokkian pada abad 19 hingga abad 20. Tanjungpinang dikenal dengan nama Lao Lai (dalam bahasa Teouciu dan Hokkian) yang artinya ‘datang ke Riau’. Senggarang terkenal dengan nama Chao Po ‘kotanya orang Teociu’, sedangkang Tanjungpinang terkenal dengan nama Fu Po ‘kotanya orang Hokkian’. Bagi generasi tua yang tinggal di Tanjungpinang saat ini, Senggarang dikenal dengan nama Toa Po (kota lama tua) dan Tanjungpinang disebut Siao Po (kota baru).
Senggarang, merupakan permukiman tua yang dibangun oleh komunitas Cina suku Teociu mulai awal abad 18 sekitar tahun 1722. Senggarang berada di seberang kota Tanjungpinang yang sekarang merupakan ibukota propinsi Kepulauan Riau sejak tahun 1958, sebelumnya ia merupakan ibukota Propinsi Riau yang kini ibukotanya telah pindah ke Pekanbaru Riau (daratan).
Baca juga: Singgah dan Mencecapi Legenda Kuliner Kopi di Tanjungbalai Riau
Siang itu saya sengaja berkunjung ke sebuah rumah bersejarah tilas hunian salah seorang Letnan Cina bernama Tan Soe Kie. Rumah tersebut merupakan salah satu tempat bersejarah di Pulau Senggarang selain Klenteng Besar Senggarang, Klenteng Akar, dan permukiman tua Pecinan Senggarang yang kaya akan nilai budaya akulturasi Melayu Cina Bugis.
Wajah Akong (kakek) Jhonny Tan alias Tan Hong Chuang kelahiran tujuh puluh satu tahun lalu tampak ceria walaupun ia datang tergopoh-gopoh sambil menyambut saya, duo Akong - Akong Srijoto dan Akong Anthony – dan beberapa kawan dari Pulau Penyengat di rumah kakeknya, Letnan Tan Soe Kie (Tan Swie Kie) dengan jabatan Liutenant der Chineesen te Noord Bintan (Letnan Cina untuk Bintan Utara) yang menjabat dari tahun 1916 sampai dengan tahun 1942. Dalam Almanak Hindia Belanda, nama Tan Soe Kie juga tercatat juga dengan ejaan Tan Swie Kie. Ia memangku jabatan letnan dan diangkat pada 19 Juli 1916 hingga selesai menjabat pada tahun 1942 (bersamaan dengan selesainya sistem Kapitan Cina di Hindia Belanda). Rumah berkelir warna merah muda itu terletak di Senggarang RT 1 RW 2, No. 21.
“Kakek itu anak ke dua dari lima bersaudara. Dulu ini rumah ramai, semua tinggal di sini. Kakek meninggal pada tahun 1962 dalam usia 70 tahun, awak (saya) berusia 15 tahun,”ujar Akong Jhonnny sambil menyebutkan bahwa rumah tersebut memiliki luas sekitar 60x30 meter.
Rumah bercat merah muda itu terletak di wilayah pecinan lawas Senggarang disebut Rumah Yuan He Xing (Nguan Hak Hen) diambil dari nama perusahaan gambir dan karet yang dimiliki keluarga Tan. Sambil mengajak saya berkeliling rumah di atas perairan laut yang mengeliling Senggarang. Rumah tersebut sejatinya memiliki dua puluh kamar dan lima buah dapur untuk masing-masing keluarga!
Baca juga: Melacak Jejak Peristirahatan Sang Arsitek Masjid Jami Sumenep
“Saya pindah dari rumah ini 40 tahun lalu setelah menikah, ya terlalu banyak orang di sini dan ingin menghindari konflik. Sekarang rumah ini sepi,” ujar Jhonny. Rumah bersejarah itu kini ditinggali oleh dua adik sepupu perempuan Jhonny yang bernama An Neh (65) dan Xiao Ling (44).
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR