Sepuluh Fakta Tersembunyi Di Balik Ganasnya Kecamuk Perang Jawa

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 27 Juni 2019 | 18:36 WIB
Litografi berdasar sketsa Francois Vincent Henri Antoine ridder de Stuers, seorang mayor-ajudan dan menantu lelaki Letnan-Jenderal Hendrik Merkus de Kock. Berkisah mengenai suasana ketika Dipanagara sampai di pesanggrahan daruratnya di Metesih, tepian Kali Progo, Magelang pada 8 Maret 1830. (KITLV)

3.  Laskar Dipanagara yang Pemadat

Candu secara luas digunakan sebagai obat perangsang dan bagian ilmu ketabiban Jawa untuk menyembuhkan aneka penyakit. Ketika perasaan anti-Cina pada bulan-bulan awal peperangan sedikit mereda, orang Cina mendapat keuntungan sebagai bandar candu di garis belakang. Selama Perang Jawa ada laporan bahwa banyak prajurit Dipanagara jatuh sakit karena ketagihan madat. Laporan Kapten Raden Mas Suwangsa, perwira kavaleri Legiun Mangkunagaran yang tertangkap laskar Dipanagara dan dibawa ke Desa Selarong pada masa awal Perang Jawa. Dia mengungkapkan, “Para pangeran biasanya tidur hingga pukul sembilan atau sepuluh pagi dan beberapa di antara mereka menjadi budak madat.”

4. Sisi Feminim Sang Pangeran

Selama perang dia sejatinya tidak tega untuk mengangkat senjata. Terhadap korban tewas bergelimpangan di kedua pihak, dia merasa pilu, bahkan, dia sampai menutup kedua matanya. Dipanagara mengungkapkan hal tersebut kepada Letnan Dua Julius Heinrich Knoerle, perwira asal Jerman yang mengawalnya dalam pelayaran ke Manado. Bisa jadi sisi psikologis ini dipengaruhi oleh banyak wanita yang pernah mengasuh dan membesarkannya.

 
 
Ki Roni Sodewo, seorang keturunan ketujuh Pangeran Dipanagara dari anak yang bernama Raden Mas Alip atau Ki Sadewa, sedang membersihkan makam tak terawat milik Kapten Hermanus Volkers van Ingen. Sang Kapten dan anjing irish-red-setter kesayangannya tewas dibantai laskar Dipanagara. Keduanya dimakamkan bersama. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)
 
5. Makam Sang Kapten dan Anjing Kesayangannya

Jelang perayaan tahun baru 1829 di Nanggulan, sebuah operasi pengejaran yang ceroboh telah mendatangkan kebinasaan bagi sepeleton serdadu Hindia Belanda Timur. Dalam pertempuran tidak seimbang itu Kapten Hermanus Volkers van Ingen dan anjing irish-red-setter kesayangannya tewas di tangan Laskar Dipanagara. Kini, makam keduanya masih di jumpai di Nanggulan, barat Sungai Progo. Prasasti yang menerangkan keduanya sudah sulit terbaca, sehingga warga sekitar menganggap bahwa makam di samping sang kapten itu adalah kuda tungganggannya.

Baca juga: Makam Serdadu dan Anjing Kesayangannya yang Dibantai Laskar Dipanagara

6.  Sistem Stelsel Benteng

Sejak Mei 1827, Belanda menerapkan siasat terbaru dalam sejarah pertempuranya: Pembangunan benteng medan-tempur darurat untuk menjepit gerak Dipanagara. Benteng memakai sumber daya setempat yang melimpah, seperti pohon kelapa dan bambu. Bersifat dinamis, mengikuti gerak pengepungan. Selama 1825-1829 dibangun 258 benteng—area padat ada di Mataram. Dalam strategi ini disusun pula delapan pasukan gerak cepat berdasar area; jelang akhir perang menjadi empat belas. Arsitek benteng medan adalah Kolonel Frans David Cochius. Pasca perang, namanya diabadikan sebagai benteng bersegi delapan di Gombong, Jawa Tengah.

Baca juga: Ketika Dipanagara Bermalam di Fort Ontmoeting

Lukisan mahakarya Raden Saleh yang berkisah tentang suasana penangkapan Pangeran Dipanagara. (Raden Saleh/Koleksi Lukisan Istana Presiden )

7. Organisasi Militer ala Turki versus Belanda

Laskar Dipanagara, dengan organisasi ala Turki-Usmani: Bulkiya, Barjumuah, Turkiya, Harkiya, Larban, Nasseran, Pinilih, Surapadah, Sipuding, Jagir, Suratandang, Jayengan, Suryagama, dan Wanang Prang. Hierarki kepangkatan juga beraksen Turki: alibasah setara komandan divisi, basah setara komandan brigade, dulah setara komandan batalion, dan seh setara komandan kompi. Pertama kalinya dalam militer Jawa dikenal kepangkatan. Seperti Dipanagara, para laskarnya juga berserban dan mencukur habis rambutnya—gundul.