Sepuluh Fakta Tersembunyi Di Balik Ganasnya Kecamuk Perang Jawa

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 27 Juni 2019 | 18:36 WIB
Litografi berdasar sketsa Francois Vincent Henri Antoine ridder de Stuers, seorang mayor-ajudan dan menantu lelaki Letnan-Jenderal Hendrik Merkus de Kock. Berkisah mengenai suasana ketika Dipanagara sampai di pesanggrahan daruratnya di Metesih, tepian Kali Progo, Magelang pada 8 Maret 1830. (KITLV)

Serdadu Hindia Timur, dengan organisasi ala Eropa. Serdadu Hindia Timur bukanlah orang Belanda asli. Pasukan tentara reguler—infanteri, kavaleri, artileri, dan pionir—terdiri atas orang Eropa dan pribumi. Diperkuat Hulptroepen yang merupakan kesatuan tentara pribumi dari Legiun Mangkunagara, barisan Mangkudiningrat, barisan Natapraja, Sumenep, Madura, Pamekasan, Bali, Manado, Gorontalo, Buton, dan Kepulauan Maluku. Kemudian, Jayeng Sekar, polisi berkuda yang direkrut dari setiap karesidenan. Lainnya: spion, petugas rohani Islam, kuli, pelayan, koki, dan tukang cuci.

Potret Hendrik Merkus Baron de Kock, setelah 1826 menjabat sebagai letnan gubernur jenderal Hindia Belanda. Lukisan karya Cornelis Kruseman, sekitar 1826-1845. (Rijksmuseum)

8. Kejujuran Sang Jenderal

Setelah Dipanagara dijebak di Wisma Residen di Magelang, De Kock mengakui kelicikannya dalam catatan hariannya. “Saya memahami sepenuhnya, tindakan saya yang demikian itu tidak terpuji, tidak kesatria dan licik karena Dipanagara telah datang ke Magelang dengan keyakinan dan kejujuran saya untuk mengadakan perundingan dengan saya. Lagipula, ia sendiri tidak mungkin mempunyai rencana-rencana yang bermusuhan...” Kemudian De Kock melanjutkan, “Jika saya menangkap Dipanagara, [...] maka perbuatan itu tentulah akan menimbulkan kesan yang tidak menguntungkan.”

9. Nasib Wangsa Dipanagaran

Setelah perang, keturunan Dipanagara yang berada di pengasingan mereka di luar Jawa tetap dianjurkan oleh Belanda menggunakan gelar kepangeranan. Tujuannya supaya lebih mudah mengawasi. Sementara, keturunan Dipanagara yang berada di Jawa terus dicari dan disingkirkan dalam kerabat keraton—hingga dibunuh. Mereka memilih untuk menghuni lereng-lereng pegunungan di sekitar Yogyakarta. Seorang cicit Dipanagara pernah mendirikan Jajasan Pendidikan Diponegoro pada 1954 di Yogyakarta. Tujuannya, supaya wangsa Dipanagaran yang di pelosok Gunung Kidul dan Bagelen bisa memperoleh beasiswa untuk bersekolah di Yogyakarta. Walau tersedia uang dan dukungan, tak satu pun orang yang bersedia mengaku keturunan Dipanagara.

10.  Perang Jawa Tampaknya Sudah Diramalkan Belanda

Pemerintah Belanda mendapat pemasukan dari bandar-bandar tol yang dikelola oleh orang-orang Cina yang baru tiba dari Fujian. Beberapa tahun jelang Perang Jawa, bandar-bandar gerbang tol kian meresahkan rakyat. Mereka memungut pajak secara membabi buta dan kerap tidak sopan kala penggeledahan terhadap para perempuan. Kemudian, Residen Surakarta dan Residen Yogyakarta membuat semacam tim audit yang menyingkap sepak terjang gerbang-gerbang tol. Tim audit ini mengusulkan kepada gubernur jenderal untuk menghapus gerbang-gerbang tol di kedua kerajaan itu. “Bahwa kalau gerbang-gerbang tol tersebut tetap diizinkan terus melakukan kegiatannya, maka waktunya tidak lama lagi, pada saat orang-orang Jawa itu akan bangkit dengan cara yang mengerikan.”

Baca juga: Dipanagara, Sebuah Nama Pembawa Sial?

Wayang Dipanagara karya Ledjar Subroto yang dipentaskan di Galeri Nasional Jakarta , Juni 2012. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)
 

Onghokham, sejarawan dan cendekiawan, pernah mengungkapkan bahwa jarang sekali raja di Nusantara yang tak segan menghimpun bantuan rakyat untuk kekuatan militer-politis. “Hamengkubuwana I dan Dipanagara merupakan pengecualian,” ungkapnya. Namun, beberapa kasus di Asia Tenggara menunjukkan bahwa “pemberontakan rakyat atau petani tidak mengubah struktur masyarakat.”

“Struktur tetap selalu terdiri atas golongan elite raja dan priyayi, dan di pihak lain adalah rakyat biasa,” ungkap Onghokham. “Mereka tetap saja jadi wong cilik.”