Terpapar Asap Beracun dari Pabrik, Puluhan Siswa Alami Sakit Massal

By National Geographic Indonesia, Rabu, 3 Juli 2019 | 10:04 WIB
Ilustrasi asap pabrik. (VanderWolf-Images)

Nationalgeographic.co.id - Puluhan siswa jatuh sakit dan ratusan sekolah di Malaysia ditutup menyusul adanya asap beracun yang berasal dari sebuah pabrik kimia.

Lebih dari 400 sekolah di kawasan industri Pasir Gudang ditutup setelah 75 murid dilarikan ke rumah sakit menyusul gangguan pernapasan dan muntah.

Dilansir dari AFP, ini adalah insiden serius kedua yang melibatkan gas beracun di Pasir Gudang setelah ribuan orang sakit Maret lalu. Saat itu sekitar 4.000 orang yang kebanyakan merupakan anak-anak jatuh sakit karena bahan kimia yang dibuang secara ilegal di sungai setempat.

Baca Juga: Persiapan Naik Haji Saat Musim Panas, Ini Tips Hindari 'Heat Stroke'

Seperti diberitakan BBC, otoritas menyatakan insiden pada Maret itu tidak ada hubungannya dengan dugaan gas beracun yang menimpa pada pekan ini.

Kantor berita Bernama memberitakan, lebih dari 100 SD dan SMP serta 300 TK swasta mendapat pemberitahuan untuk menutup sementara sembari penyelidikan digelar. Masyarakat mengetahui adanya asap itu pada pekan lalu ketika banyak orang, termasuk anak, mulai muntah-muntah dan mengaku mengalami kesulitan bernapas.

Menteri Utama Negara Bagian Johor Sahruddin Jamal dalam konferensi pers mengatakan, dia tidak mengetahui penyebab pasti insiden yang terjadi baru-baru ini.

Meski begitu, Sahruddin menegaskan peristiwa itu tak ada hubungannya dengan insiden Maret di mana 111 sekolah harus ditutup karena bahan kimia di Sungai Kim Kim.

Perdana Menteri Mahathir Mohamad berjanji bakal mengusut pelaku yang bertanggung jawab. "Kelihatannya ada perusahaan yang tidak mengerti tentang keselamatan," katanya.

Baca Juga: Menonton TelevisI Lebih Buruk Bagi Kesehatan Dibanding Duduk Seharian di Kantor

Warga sekitar seperti Normah Ahmad yang merupakan pedagang mengaku sangat gusar karena keberadaan asap beracun itu membuat orang tidak mau membeli bahan makanan di sana.

"Saya berharap pemerintah menanggapi isu ini secara serius," ujar pedagang 63 tahun itu kepada The Star