Namun, ungkap Ida, para perempuannya tampak lebih sederhana dalam perhiasan. Mereka tak beranting, tak bergigi beruang, dan sangat sedikit manik-manik. Mereka mengenakan semacam semacam korset seukuran sejengkal tangan yang berhias ornamen kuningan dan cincin kelam. “Saya mencoba mengangkat satu perhiasan itu, dan saya tak menduga bahwa beratnya sekitar empat kilogram.”
Pada hari yang sama, dia juga berkunjung ke tetangga desa Dayak tadi. Tidak banyak perbedaan soal tata busana mereka. “Kecuali, saya punya kesenangan baru di sini,” ujarnya, “melihat sepasang trofi perang nan ganteng dari dua kepala manusia yang baru saja ditebas.”
Baca juga: Candu, Perbudakan, dan Kebobrokan Kolonial di Pontianak Abad Ke-19
“Melihat sepasang trofi perang nan ganteng dari dua kepala manusia yang baru saja ditebas.”
Mereka mengeluarkan trofi kepala itu dari keranjang, yang kemudian menggantungnya untuk memamerkan dengan rasa puas dan bangga kepada Ida. Tradisi mengayau—berburu kepala musuh untuk dijadikan trofi—tampaknya telah menjadi bagian suku-suku pedalaman di Hindia. Setelah menyaksikan semua adegan liar itu, Ida merenung, apakah berarti orang Eropa seperti dirinya jauh lebih beradab dari mereka? Bukankah dalam setiap lembaran sejarah Eropa diwarnai dengan perbuatan mengerikan pengkhianatan dan pembunuhan, demikian kecamuk pertanyaan dalam benaknya. Apa yang akan kita katakan tentang perang religius antara Jerman dan Prancis, penaklukkan Amerika, pertumpahan darah di Timur Tengah, hingga Inkuisisi Spanyol?
Bagi Ida, tampaknya melancong tidak sekadar berpindah tempat, tetapi juga menuntunnya supaya punya pemikiran terbuka tentang ragam peradaban dan kerendahan hati.
Baca juga: Sang Sultan dan Tamansari dalam Catatan Perempuan Eropa Abad Ke-19
“Saya tidak berpikir bahwa kita orang Eropa dapat berkata banyak tentang kebiadaban ini,” paparnya. Menurutnya, bangsa Eropa juga membunuh musuh dan bahkan menyiksa musuh mereka—dengan berbagai alat dan cara penyiksaan—sementara orang-orang Dayak membunuh musuh tanpa menyiksanya. “Dan apa yang telah mereka lakukan, mungkin kita dapat memaafkan mereka yang tidak mendapat pencerahan agama dan budaya intelektual.”
Kisah ini merupakan cuplikan dari A Lady's Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States, Volume 1. Buku tersebut merupakan catatan perjalanan Ida Laura Reyer Pfeiffer yang terbit di London pada 1855.