Kesaksian Perempuan Eropa tentang Pemburu Kepala Manusia di Kalimantan

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 27 Juli 2019 | 15:20 WIB
Litografi berjudul 'On the Head Hunting' karya Carl Alfred Bock, yang melukiskan seorang lelaki Dayak dengan peranti berperang. (Carl Alfred Bock/Head Hunters of Borneo)

“Namun, perhiasan paling mewah adalah kalung dan gelang tangan dari gigi manusia.”

Kedatangan Ida menjadi tontontan lantaran bagi warga pedalaman Borneo, tampaknya dia merupakan sosok aneh bagi mereka. Dialah perempuan kulit putih pertama yang mereka lihat. Pada kenyataannya memang demikian, Ida Pfeiffer memang perempuan Eropa pertama yang menjelajahi pedalaman hutan Borneo, sekitar tiga dekade sebelum penjelajah asal Norwegia, Carl Bock. Hari berikutnya Ida mengunjungi perkampungan Dayak bersama Komandan Lee. “Saya menjumpai pondokan besar, panjangnya sekitar 60 meter. Ada sejumlah barang tersebar melimpah di dalamnya,” ungkapnya. “Saya berminat membelinya apabila ada diantara mereka yang menjualnya.”  Ida menyaksikan ragam barang: Kain katun, bahan-bahan dari kulit pohon, anyaman tikar, anyaman keranjang, hingga parang dan peralatan logam lainnya.

Baca juga: Kengerian Pelancong Perempuan Pertama di Batak pada Abad ke-19

Seorang Dayak pemburu kepala di Borneo sekitar 1900-1912. Setiap satu atau dua tahun sekali the Dayak Iban menyelenggarakan adat Gawai Autu untuk menghormati arwah leluhur yang dipercaya berada disekeliling kepala yang tergantung di rumah mereka. Dalam upacara adat itu mereka berharap mendapatkan berkah dan keberuntungan. (Charles Hose/Tropenmuseum)

Namun, ungkap Ida, para perempuannya tampak lebih sederhana dalam perhiasan. Mereka tak beranting, tak bergigi beruang, dan sangat sedikit manik-manik. Mereka mengenakan semacam semacam korset seukuran sejengkal tangan yang berhias ornamen kuningan dan cincin kelam. “Saya mencoba mengangkat satu perhiasan itu, dan saya tak menduga bahwa beratnya sekitar empat kilogram.”

Pada hari yang sama, dia juga berkunjung ke tetangga desa Dayak tadi. Tidak banyak perbedaan soal tata busana mereka. “Kecuali, saya punya kesenangan baru di sini,” ujarnya, “melihat sepasang trofi perang nan ganteng dari dua kepala manusia yang baru saja ditebas.”

Baca juga: Candu, Perbudakan, dan Kebobrokan Kolonial di Pontianak Abad Ke-19

Sibau Mobang, lelaki berusia sekitar 50-an tahun, kepala suku Dayak Tring yang mempunyai tradisi kanibal. Litografi dari 'The Head Hunters of Borneo yang terbit pada 1881. Buku karya Carl Alfred Bock itu berhias 37 litografi dan ilustrasi, umumnya tentang orang dan budaya Dayak. (Mahandis Yoanata Thamrin)
Kedua kenang-kenangan atas kemenangan perang itu baru diperoleh beberapa hari sebelumnya dan menampakkan pemandangan yang mengerikan. Kepala itu nantinya diasap hingga dagingnya setengah matang, bibir dan telinga melayu. “Kepala-kepala itu tetap dengan rambutnya,” demikian kisah Ida, “dan salah satu kepala itu bahkan matanya membelalak.”

“Melihat sepasang trofi perang nan ganteng dari dua kepala manusia yang baru saja ditebas.”

Mereka mengeluarkan trofi kepala itu dari keranjang, yang kemudian menggantungnya untuk memamerkan dengan rasa puas dan bangga kepada Ida. Tradisi mengayau—berburu kepala musuh untuk dijadikan trofi—tampaknya telah menjadi bagian suku-suku pedalaman di Hindia. Setelah menyaksikan semua adegan liar itu, Ida merenung, apakah berarti orang Eropa seperti dirinya jauh lebih beradab dari mereka? Bukankah dalam setiap lembaran sejarah Eropa diwarnai dengan perbuatan mengerikan pengkhianatan dan pembunuhan, demikian kecamuk pertanyaan dalam benaknya. Apa yang akan kita katakan tentang perang religius antara Jerman dan Prancis, penaklukkan Amerika, pertumpahan darah di Timur Tengah, hingga Inkuisisi Spanyol?

Bagi Ida, tampaknya melancong tidak sekadar berpindah tempat, tetapi juga menuntunnya supaya punya pemikiran terbuka tentang ragam peradaban dan kerendahan hati.

Baca juga: Sang Sultan dan Tamansari dalam Catatan Perempuan Eropa Abad Ke-19

Sosok Ida Laura Reyer Pfeiffer dalam busana melancong dari kain linen warna kelabu. Litografi karya Adolf Dauthage, 1825–1883. (Adolf Dauthage, 1825–1883)

“Saya tidak berpikir bahwa kita orang Eropa dapat berkata banyak tentang kebiadaban ini,” paparnya. Menurutnya, bangsa Eropa juga membunuh musuh dan bahkan menyiksa musuh mereka—dengan berbagai alat dan cara penyiksaan—sementara orang-orang Dayak membunuh musuh tanpa menyiksanya. “Dan apa yang telah mereka lakukan, mungkin kita dapat memaafkan mereka yang tidak mendapat pencerahan agama dan budaya intelektual.” 

Kisah ini merupakan cuplikan dari A Lady's Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States, Volume 1. Buku tersebut merupakan catatan perjalanan Ida Laura Reyer Pfeiffer yang terbit di London pada 1855.