Echigo-Tsumari Art Field: Ketika Seni Modern Menyatu dengan Alam

By National Geographic Indonesia, Kamis, 1 Agustus 2019 | 18:04 WIB
Suasana di Tunnel of Light, Echigo-Tsumari Art Field. Shot on OPPO Reno 10x Zoom. (Didi Kaspi Kasim)

Nationalgeographic.co.id - Perjalanan mobile journalism saya kali ini dimulai dari Echigo Tsumari, Jepang. Sebuah perjalanan visual pencarian bukti agar lebih memahami bagaimana Jepang begitu melestarikan nilai-nilai bangsanya melewati berbagai era dan tren.

Jepang dikenal berhasil memadu padankan seni modern dengan kehidupan keseharian mereka, tanpa mengubah identitasnya destinasi-destinasi mereka terus menyimpan roh ke"Jepang-annya".

Sebagai seorang pejalan, saya ingin mencari inspirasi untuk kemudian menjadi bahan bercerita kembali sehingga bisa menjadi hal yang ditiru untuk tempat asal saya.

Berikut penelusuran saya dari sebagian Utara Jepang di awal perjalanan ini.

Pemandangan khas pedesaan di Echigo-Tsumari. Shot on OPPO Reno 10x Zoom. (Didi Kaspi Kasim)

Terletak di wilayah pegunungan, Echigo-Tsumari menawarkan pemandangan khas pedesaan dengan hijaunya sawah yang mengelilingi desa-desa kecil. Namun, yang membuatnya lebih menarik adalah instalasi seni modern yang sengaja ditempatkan di tengah lanskap hijau seluas 760 kilometer persegi. Bukan museum luar ruangan biasa, ada sekitar 160 karya para seniman Jepang maupun internasional yang ditampilkan di sini.

Semua karya seni yang dipamerkan memiliki satu tujuan: yakni membuat manusia memikirkan kembali bagaimana hubungan mereka dengan alam. Saat dunia modern dan peradaban baru kerap membahayakan lingkungan, orang-orang di Echigo-Tsumari justru bertahan hidup dengan berpegang teguh kepada konsep “satoyama”, yang berarti “hidup selaras dengan alam”. Kesederhanaan gaya hidup satoyama lah yang kemudian menginspirasi para seniman untuk memulihkan koneksi seni dan alam yang hampir hilang.

Baca Juga: Wabi Sabi, Konsep Jepang yang Menghargai Keindahan dalam Ketidaksempurnaan

Di Echigo-Tsumari, para seniman tidak memiliki pilihan. Mereka harus membuat instalasi di tanah penduduk—mengharuskan mereka berinteraksi dengan warga lokal. Meski awalnya sempat mengalami penolakan, tapi semangat dan keterbukaan para seniman akhirnya menggerakkan hati orang-orang lokal. Mereka melibatkan penduduk bukan sebagai penonton, tetapi kolaborator.

Dibanding menempatkannya pada satu titik, karya seni yang ditampilkan di Echigo-Tsumari sengaja disebar di 200 desa—termasuk di tengah sawah, stasiun kereta api, bahkan bangunan terbengkalai. Dengan begitu, menjelajahi satu instalasi ke yang lainnya, bisa dilakukan sambil mengilhami kekayaan satoyama, juga memandang keindahan Echigo-Tsumari yang menenangkan jiwa.

Menjelajahi karya seni di Echigo-Tsumari sambil mengilhami konsep satoyama. Shot on OPPO Reno 10x Zoom (Didi Kaspi Kasim)

Saat melihat-lihat instalasi seni, pengunjung akan melewati sawah dan hutan kecil sehingga merasakan seni modern yang menyatu bersama alam dengan kelima panca indra.