Nationalgeographic.co.id - Perjalanan mobile journalism saya kali ini dimulai dari Echigo Tsumari, Jepang. Sebuah perjalanan visual pencarian bukti agar lebih memahami bagaimana Jepang begitu melestarikan nilai-nilai bangsanya melewati berbagai era dan tren.
Jepang dikenal berhasil memadu padankan seni modern dengan kehidupan keseharian mereka, tanpa mengubah identitasnya destinasi-destinasi mereka terus menyimpan roh ke"Jepang-annya".
Sebagai seorang pejalan, saya ingin mencari inspirasi untuk kemudian menjadi bahan bercerita kembali sehingga bisa menjadi hal yang ditiru untuk tempat asal saya.
Berikut penelusuran saya dari sebagian Utara Jepang di awal perjalanan ini.
Terletak di wilayah pegunungan, Echigo-Tsumari menawarkan pemandangan khas pedesaan dengan hijaunya sawah yang mengelilingi desa-desa kecil. Namun, yang membuatnya lebih menarik adalah instalasi seni modern yang sengaja ditempatkan di tengah lanskap hijau seluas 760 kilometer persegi. Bukan museum luar ruangan biasa, ada sekitar 160 karya para seniman Jepang maupun internasional yang ditampilkan di sini.
Semua karya seni yang dipamerkan memiliki satu tujuan: yakni membuat manusia memikirkan kembali bagaimana hubungan mereka dengan alam. Saat dunia modern dan peradaban baru kerap membahayakan lingkungan, orang-orang di Echigo-Tsumari justru bertahan hidup dengan berpegang teguh kepada konsep “satoyama”, yang berarti “hidup selaras dengan alam”. Kesederhanaan gaya hidup satoyama lah yang kemudian menginspirasi para seniman untuk memulihkan koneksi seni dan alam yang hampir hilang.
Baca Juga: Wabi Sabi, Konsep Jepang yang Menghargai Keindahan dalam Ketidaksempurnaan
Di Echigo-Tsumari, para seniman tidak memiliki pilihan. Mereka harus membuat instalasi di tanah penduduk—mengharuskan mereka berinteraksi dengan warga lokal. Meski awalnya sempat mengalami penolakan, tapi semangat dan keterbukaan para seniman akhirnya menggerakkan hati orang-orang lokal. Mereka melibatkan penduduk bukan sebagai penonton, tetapi kolaborator.
Dibanding menempatkannya pada satu titik, karya seni yang ditampilkan di Echigo-Tsumari sengaja disebar di 200 desa—termasuk di tengah sawah, stasiun kereta api, bahkan bangunan terbengkalai. Dengan begitu, menjelajahi satu instalasi ke yang lainnya, bisa dilakukan sambil mengilhami kekayaan satoyama, juga memandang keindahan Echigo-Tsumari yang menenangkan jiwa.
Saat melihat-lihat instalasi seni, pengunjung akan melewati sawah dan hutan kecil sehingga merasakan seni modern yang menyatu bersama alam dengan kelima panca indra.
“Dengan mengedepankan pengalaman tersebut, kami ingin mengingatkan manusia akan asal-usulnya. Menghubungkannya kembali dengan alam,” ungkap pengelola Echigo-Tsumari Art Field melalui situs resmi mereka.
Salah satu karya seni yang paling menarik perhatian di Echigo-Tsumari adalah ‘Tunnel of Light’, sebuah terowongan sepanjang 750 meter di samping ngarai yang disulap menjadi instalasi menakjubkan. Sesuai dengan konsep satoyama, Tunnel of Light dibuat dengan memikirkan hubungan antara manusia dan alam, juga diciptakan sebagai penghubung antara penduduk Echigo-Tsumari dengan para pengunjung.
Tunnel of Light terbagi menjadi lima bagian yang menggambarkan lima elemen alam: kayu, bumi, logam, api dan air. Instalasi pertama merupakan ‘Periscope’ yang mewakili elemen kayu. Ia adalah sebuah gubuk kayu kecil yang berfungsi sebagai kafe dan toko souvenir di lantai dasarnya. Namun, pada bagian atas, terdapat spa mata air panas dengan atap yang memiliki cermin melingkar untuk merefleksikan pemandangan di sekitarnya. Maksud dari instalasi pertama ini adalah agar pengunjung bisa merendam kakinya di sumber mata air panas dengan rileks, sambil melihat ke arah cermin di atap yang merefleksikan pemandangan sungai.
Yang kedua, ada ‘Expression of Color’, instalasi yang berkaitan dengan elemen bumi. Ini merupakan pintu masuk terowongan yang dilengkapi beragam cahaya dengan warna berbeda. Ma Yansong, pemimpin proyek ini mengatakan, melalui ‘Expression of Color’, ia ingin mengajak pengunjung melarikan diri sejenak dari dunia nyata dan membuat mereka seolah-olah berada di dimensi lain.
Setelah beralih dari ‘Expression of Color’, kita akan sampai ke ‘Invisible Bubble’ yang mewakili elemen logam. Memiliki struktur seperti kapsul, pengunjung seolah-olah mendarat di dunia lain. Anda bisa melihat ke luar, tapi mereka yang berada di luar tidak akan bisa melihat ke dalam ‘bubble’ ini. Ruangan yang sangat privat tersebut memberikan pengunjung tempat ideal untuk berkontemplasi ketika tidak ada orang lain yang menonton.
Di bagian terakhir, kita akan sampai di ‘light cave’ yang mewakili elemen air. Genangan air dangkal dengan pemandangan ngarai yang dipantulkan di gua menciptakan ilusi alam yang tak terbatas. Cahaya seolah-olah masuk dari ujung terowongan dan memunculkan perasaan tenang yang abadi.
Kondisi latar yang minim cahaya dan celah pada tebing yang didesain oleh arsitek Tiongkok ini menjadi lokasi yang pas untuk menguji keandalan fitur-fitur mutakhir OPPO Reno 10x Zoom yang kami bawa. Kamera utamanya memiliki resolusi hingga 48MP yang didukung sensor Sony IMX586, diafragma f/1.7, sensor sebesar ½-inci yang meningkatkan sensitivitas lensa terhadap cahaya untuk mengambil gambar beresolusi tinggi dengan jernih.
Selain itu, sudut ultra lebar pada kameranya mampu memberikan perspektif baru untuk komposisi foto dengan tangkapan gambar yang lebih luas. Bahkan, mampu memberikan perbesaran digital hingga 60x.
Perpaduan instalasi lampu dan lengkung terowongan mampu ditangkap dengan baik, night mode beberapa kali berhasil membantu kami merekam kondisi minim cahaya di lokasi ini. Tentu saja ini tidak mengherankan karena OPPO Reno 10x Zoom memiliki tiga sistem pencarian fokus: yaitu Laser Detection Autofocus, Contrast Detection Autofocus, dan Phase Detection Autofocus. Dengan begitu, ia dapat menghasilkan kecepatan dan akurasi fokus pada keadaan kurang cahaya.
Baca Juga: Menyaksikan Cahaya Pagi Berbentuk Hati di Gua Kameiwa Jepang
Pameran seni di Etchigo-Tsumari mulai dilakukan pada 2000 atas inisiatif Fran Kitagawa. Menurutnya, karya seni ini dihadirkan untuk membawa kembali energi ke wilayah tersebut. Apa yang dilakukan Kitagawa merupakan bagian dari rencana revitalisasi untuk menarik perhatian wisatawan dan anak muda Jepang.
“Kami memiliki konsep yang sama sedari awal,” ujar Kitagawa. “Bahwa manusia merupakan bagian dari alam sehingga kita harus menyesuaikan diri dengannya selama kita hidup.”