Kala Fotografer Joel Sartore Nyaris Terkena Virus Kelelawar Mematikan

By National Geographic Indonesia, Senin, 26 Agustus 2019 | 12:59 WIB
Untuk artikel dari alam liar Afrika, tepatnya Lembah Albertine, Joel Sartore memotret kelelawar buah mesir di gua di Uganda. Sore itu, ketika meninggalkan gua dan membuka perlengkapan pelindungnya, nyawanya terancam saat sejenak menatap langit. (Charles Rash.)

Tidak ada tes yang mudah untuk memastikan infeksi Marburg. Jika saya terinfeksi, gejalanya akan muncul dalam tiga hari sampai tiga minggu, sakit kepala parah, kegagalan organ, dan demam sangat tinggi yang bisa menyebabkan saya tidak akan mengingat apa-apa kalau saya masih hidup. Dalam beberapa kasus wabah, angka kematiannya mencapai 90 persen. “Sebaiknya Anda pulang sekarang juga,” kata pria itu, “sebelum Anda bisa menulari orang lain.”

Sesampainya saya di Nebraska, saya dikarantina di dalam rumah saya sendiri. Untuk pertama kalinya, saya berpikir panjang soal kematian. Saya ingat, hari itu cerah, burung-burung berkicau, truk sampah menderu di luar. Seluruh dunia terus berjalan seakan-akan tidak ada yang salah. Saya berpikir, tidakkah mereka mengetahui apa yang sedang terjadi di sini? Tentu tidak. Jika mereka tahu, ini akan menjadi berita nasional.

Selama tiga minggu, saya menjauh dari keluarga saya. Baki makanan saya diletakkan di depan pintu loteng. Namun saya tidak bernafsu makan. Saya hanya bisa duduk dan berpikir, apakah saya demam? Apakah kepalaku sakit? Saya mengukur suhu badan 50 kali sehari. Kalau ada sedikit saja tanda demam, saya siap berkendara langsung ke rumah sakit terdekat, yang berjarak hanya beberapa kilometer dari rumah dan memiliki ruang isolasi bertekanan udara negatif (untuk mencegah virus keluar) yang sudah dipesan atas nama saya. Di dalam ruangan itu, saya membayangkan, akan ada tenda bertekanan udara negatif yang melingkupi ranjang, menyegel saya di dalamnya.

Hingga kini, penugasan di alam liar Lembah Albertine, Afrika, itu tetap terasa menegangkan. Kami menempatkan perangkap kamera di lubang air dan bangkai binatang, mengambil gambar kuda nil, dubuk, macan tutul, dari jarak beberapa sentimeter.

Namun itu dahulu, di belahan dunia yang lain. Di sini di Lincoln, Nebraska, waktu merayap pelan di bilik sempit saya. Saya memikirkan apakah foto saya cukup bagus. Foto apakah yang terlewat karena saya meninggalkan Uganda sebelum masa penugasan selesai. Namun lebih dari itu, saya memikirkan apakah, begitu saya keluar dari hutan, saya akan mensyukuri semua yang telah dikaruniakan kepada saya, keluarga, kehidupan, dan hak istimewa saya untuk berusaha menyelamatkan tempat-tempat liar terakhir menggunakan foto terkadang saya masih tidak percaya itulah mata pencaharian saya.

Pada hari ke-22, setelah masa karantina saya selesai tanpa tanda-tanda gejala penyakit, saya akhirnya bisa keluar. Saya duduk di meja makan untuk pertama kalinya sejak kepulangan saya dari Afrika. Istri saya, Kathy, dan ketiga anak saya ada di sana, menyiapkan hidangan istimewa untuk merayakan akhir masa karantina saya. Kemudian, seseorang menyalakan blender.

Sejenak, ruangan dipenuhi gemuruh ribuan kelelawar yang terbang bersamaan. Saya pun memejamkan mata, hanya untuk berjaga-jaga.