Kala Fotografer Joel Sartore Nyaris Terkena Virus Kelelawar Mematikan

By National Geographic Indonesia, Senin, 26 Agustus 2019 | 12:59 WIB
Untuk artikel dari alam liar Afrika, tepatnya Lembah Albertine, Joel Sartore memotret kelelawar buah mesir di gua di Uganda. Sore itu, ketika meninggalkan gua dan membuka perlengkapan pelindungnya, nyawanya terancam saat sejenak menatap langit. (Charles Rash.)

Cerita dan Foto oleh Joel Sartore.

Nationalgeographic.co.id - Dalam penugasan di dalam gua penuh kelelawar dan ular, seorang fotografer menyangka sudah memahami bahaya yang mengadang. Namun, maut justru mengancam ketika ia melangkah ke luar.

Beberapa tahun silam, dalam penugasan untuk National Geographic, saya menjelajahi gua di Uganda demi mendapatkan foto sekitar 100.000 kelelawar buah mesir yang bersarang. Kelelawar ini umum di Afrika, tetapi gua itu istimewa mirip kubah dengan sorot cahaya di kedua ujungnya. Langit-langit rendah membuat kelelawar dekat letaknya, dan upaya memotretnya relatif mudah.

Satu-satunya bahaya yang nyata, pikir saya, adalah ular piton dan kobra hutan yang melata, mengincar kelelawar yang terbang rendah. Saya akan baik-baik saja selama saya melangkah dengan hati-hati.

Baca Juga: FOTO: Kelelawar Penyebar Penyakit Manusia

Setelah beberapa jam bekerja, saya keluar dari gua saat senja. Saya kotor dan lelah, tetapi puas dengan gambar-gambar yang baru saja saya ambil dan kenyataan bahwa kelelawar-kelelawar itu tampaknya tidak keberatan atas keberadaan saya di sana.

Seratus langkah dari gua, setelah saya membuka kacamata, terdengar gemuruh raungan mesin di atas kepala. Kelelawar berbondong-bondong keluar menyongsong senja, memulai perburuan malam.

Saya mendongak, hanya sedetik, dan setetes tinja segar jatuh tepat di mata kiri saya. Rasanya panas, dan mata saya seakan-akan terbakar. Seketika itu juga saya menyadari inilah “kontak basah,” yang potensi bahayanya setara dengan sebuah gigitan.

Saya sudah berpuluh-puluh tahun memotret satwa dan saya tahu peraturannya. Bukan beruang atau singa yang akan merepotkanmu justru yang kecil. Larva serangga botfly pernah bersarang di kedua tangan dan bagian bawah punggung saya. Lalu, saya pernah terkena mucocutaneous leishmaniasis, penyakit yang disebabkan oleh parasit pemakan daging. Untuk menyingkirkan penyakit itu, dibutuhkan kemoterapi selama sebulan.

(Joel Sartore)

Begitu kami tiba di kamp, saya langsung menelepon U.S. Centers for Disease Control and Prevention cabang Uganda untuk menanyakan apakah mereka mengetahui penyakit apa, jika ada, yang mungkin ditularkan oleh kelelawar-kelelawar itu. “Anda seharusnya tidak masuk ke sana,” kata pria itu. “Virus Marburg berpusar di gua itu.”

Virus Marburg mendatangkan kematian yang buruk dan berantakan. Virus itu menyebabkan demam hemoragik (artinya: Anda akan mengalami perdarahan di mana-mana), mirip virus Ebola (bedanya, kadang-kadang Marburg membunuh sedikit lebih cepat).

Tidak ada tes yang mudah untuk memastikan infeksi Marburg. Jika saya terinfeksi, gejalanya akan muncul dalam tiga hari sampai tiga minggu, sakit kepala parah, kegagalan organ, dan demam sangat tinggi yang bisa menyebabkan saya tidak akan mengingat apa-apa kalau saya masih hidup. Dalam beberapa kasus wabah, angka kematiannya mencapai 90 persen. “Sebaiknya Anda pulang sekarang juga,” kata pria itu, “sebelum Anda bisa menulari orang lain.”

Sesampainya saya di Nebraska, saya dikarantina di dalam rumah saya sendiri. Untuk pertama kalinya, saya berpikir panjang soal kematian. Saya ingat, hari itu cerah, burung-burung berkicau, truk sampah menderu di luar. Seluruh dunia terus berjalan seakan-akan tidak ada yang salah. Saya berpikir, tidakkah mereka mengetahui apa yang sedang terjadi di sini? Tentu tidak. Jika mereka tahu, ini akan menjadi berita nasional.

Selama tiga minggu, saya menjauh dari keluarga saya. Baki makanan saya diletakkan di depan pintu loteng. Namun saya tidak bernafsu makan. Saya hanya bisa duduk dan berpikir, apakah saya demam? Apakah kepalaku sakit? Saya mengukur suhu badan 50 kali sehari. Kalau ada sedikit saja tanda demam, saya siap berkendara langsung ke rumah sakit terdekat, yang berjarak hanya beberapa kilometer dari rumah dan memiliki ruang isolasi bertekanan udara negatif (untuk mencegah virus keluar) yang sudah dipesan atas nama saya. Di dalam ruangan itu, saya membayangkan, akan ada tenda bertekanan udara negatif yang melingkupi ranjang, menyegel saya di dalamnya.

Hingga kini, penugasan di alam liar Lembah Albertine, Afrika, itu tetap terasa menegangkan. Kami menempatkan perangkap kamera di lubang air dan bangkai binatang, mengambil gambar kuda nil, dubuk, macan tutul, dari jarak beberapa sentimeter.

Namun itu dahulu, di belahan dunia yang lain. Di sini di Lincoln, Nebraska, waktu merayap pelan di bilik sempit saya. Saya memikirkan apakah foto saya cukup bagus. Foto apakah yang terlewat karena saya meninggalkan Uganda sebelum masa penugasan selesai. Namun lebih dari itu, saya memikirkan apakah, begitu saya keluar dari hutan, saya akan mensyukuri semua yang telah dikaruniakan kepada saya, keluarga, kehidupan, dan hak istimewa saya untuk berusaha menyelamatkan tempat-tempat liar terakhir menggunakan foto terkadang saya masih tidak percaya itulah mata pencaharian saya.

Pada hari ke-22, setelah masa karantina saya selesai tanpa tanda-tanda gejala penyakit, saya akhirnya bisa keluar. Saya duduk di meja makan untuk pertama kalinya sejak kepulangan saya dari Afrika. Istri saya, Kathy, dan ketiga anak saya ada di sana, menyiapkan hidangan istimewa untuk merayakan akhir masa karantina saya. Kemudian, seseorang menyalakan blender.

Sejenak, ruangan dipenuhi gemuruh ribuan kelelawar yang terbang bersamaan. Saya pun memejamkan mata, hanya untuk berjaga-jaga.