Kenali Titisan Kerajaan Kutai ing Martadipura di Kalimantan Timur

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 29 Agustus 2019 | 17:59 WIB
Patung Lembuswana di depan Museum Mulawarman, Tenggarong - Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Dia juga mengungkapkan Sultan Aji Muhammad Sulaiman (1845-1899) memiliki enam sampai delapan orang Cina yang berprofesi sebagai pandai emas dan perak.

Baca juga: Kesaksian Perempuan Eropa tentang Pemburu Kepala Manusia di Kalimantan

Kutai Kartanegara kaya akan hasil tambang minyak bumi dan gas alam, juga batubara. Pada 1882 berlangsung perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan Kutai soal konsesi tanah selama 75 tahun untuk pembukaan tambang batubara.

Tambang batubara pertama diresmikan pada 1888. Kemudian dilanjutkan dengan eksplorasi minyak bumi di Sanga-Sanga. Kini pertambangan minyak bumi terbesar di kabupaten tersebut berada di Samboja, dekat perbatasan Balikpapan. 

Produksi minyak bumi Kutai pernah menjadi tiga besar pada masa Hindia Belanda. J.A. Hooze, seorang  ahli geologi Hindia Belanda, menjuluki kawasan itu sebagai “Sungai Minyak Tanah.” 

Selama 41 tahun Kutai Kertanegara ing Martadipura berjalan tanpa kepemimpinan Sultan. Sejak akhir Januari 1960 Sultan Aji Muhammad Parikesit menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah daerah. Hal ini terkait dengan pencabutan status Kutai kartanegara sebagai “Daerah Istimewa” menjadi daerah swatantra setingkat kabupaten pada 1959.

Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II duduk di singgasana Balai 41 saat ritual Beluluh di teras depan Kedaton Kasultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Ritual meluluhkan segala pengaruh jahat di jiwa dan raga Sultan ini digelar setiap sore selama pekan Pesta Adat Erau 2013. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Sejak penyerahan wewenang kepemimpinan itu Sultan dan keluarganya tak lagi memiliki kedudukan khusus. Kasultanan bangkit lagi ketika Pengeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai ke-20 dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II pada 22 September 2001.

Nueng Ibrahim, seorang budayawan asal Kutai yang pernah membangkitkan seni keroncong tingkilan, berkata kepada National Geographic Indonesia, "Kekayaan Kutai tidak bisa kita lihat." Lalu, dia melanjutkan dengan ungkapan, "Kekayaan Kutai adalah kemurahan hati warganya."

Riwayat kejayaan masa silam Kutai masih berlanjut. Di kawasan tapak kerajaan Hindu tertua seantero Nusantara itu, kelak pusat pemerintahan dan Ibu Kota Republik Indonesia berada.

Sejarah berulang?