Kenali Titisan Kerajaan Kutai ing Martadipura di Kalimantan Timur

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 29 Agustus 2019 | 17:59 WIB
Patung Lembuswana di depan Museum Mulawarman, Tenggarong - Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id— “Sang Maharaja Mulawarman yang mulia dan terkemuka,” demikian menurut salah satu prasasti yang ditemukan di hulu Mahakam, “telah memberi sedekah 20.000 ekor lembu kepada para Brahmana...”

Tujuh buah prasasti berhuruf pallawa dalam bentuk tugu batu menyingkap tabir peradaban pada awal milenium pertama di Nusantara, sekitar abad ke-5. Tugu batu itu didirikan oleh para Brahmana atas sebuah perhelatan kenduri akbar yang digelar oleh Mulawarman, seorang anak dari Aswawarman dan cucu dari Kudungga.

Temuan prasasti pada 1879 dan 1940 tersebut telah mengakhiri masa prasejarah di Nusantara. Kutai—meskipun tidak disebutkan dalam prasasti itu—telah ditahbiskan sebagai kerjaan Hindu tertua.

Namun, tampaknya peradaban berikutnya baru muncul sekitar seribu tahun setelah masa Mulawarman. Dalam hikayat masyarakat Kutai, tersebut nama Aji Batara Agung Dewa Sakti. Dialah raja Hindu yang bertakhta pada 25 tahun pertama abad ke-14. Kelak, pernikahannya dengan Putri Karang Melenu akan menurunkan dinasti raja-raja Kutai Kartanegara hingga sekarang. 

Dua sosok leluhur Kasultanan Kutai ing Martadipura tersebut kerap dikenang dalam Pesta Adat Erau, salah satu festival budaya tertua di Indonesia. Makna setiap ritual adat selalu dihubungkan dengan kelahiran keduanya.

Kerajaan Kutai abad ke-14 sepertinya telah menjalin hubungan kerja sama dengan kerajaan sohor di Jawa pada masanya, Majapahit. Kakawin Nagarakretagama gubahan Prapanca pada 1365, menyebutkan toponimi Tanjung Kutei dalam pupuh 14.

Kerajaan Kutai Kartanegara pertama berlokasi di Kutai Lama (1300-1732), hilir Mahakam. Lalu pindah ke Pemarangan (1732-1782), dan terakhir di Tepian Pandan sejak 1782. Nama Tepian Pandan diganti menjadi Tangga Arung—bermakna “Rumah Sang Raja”—yang dilafalkan warga setempat sebagai Tenggarong.  

Kepindahan Ibu Kota Kerajaan Kutai dari Pemarangan ke Tenggarong dilakukan pada masa Aji Imbut yang bergelar Sultan Muhammad Muslihuddin. Takhta di Tenggarong dimulai sejak 28 September 1782, kini diperingati sebagai hari jadi kota itu.

Kedaton Kesultanan Kutai di Tenggarong, tepian Mahakam, pada masa Sultan Aji Muhammad Sulaiman. (Tropenmuseum)

Konon, nama Martadipura mulai ditambahkan dalam nama Kutai Kartanegara sejak Aji Pangeran Adipati Sinum Panji Mendapa dari Kerajaan Kutai Kartanegara mengalahkan Maharaja Derma Setiya dari Kerajaan Kutai Martadipura pada 1605.

Pada abad ke-18 pengaruh Islam telah memasuki istana Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Gelar raja diganti dengan Sultan. Sultan Kutai  pertama kali adalah Sultan Aji Muhammad Idris yang bertakhta 1735–1778 di Pemarangan.

The Head-Hunters of Borneo karya Carl Bock yang diterbitkan S. Low, Marston, Searle, & Rivington di London pada 1882, menampilkan litografi yang melukiskan bangunan Kasultanan pada akhir abad ke-19. 

Dia juga mengungkapkan Sultan Aji Muhammad Sulaiman (1845-1899) memiliki enam sampai delapan orang Cina yang berprofesi sebagai pandai emas dan perak.

Baca juga: Kesaksian Perempuan Eropa tentang Pemburu Kepala Manusia di Kalimantan

Kutai Kartanegara kaya akan hasil tambang minyak bumi dan gas alam, juga batubara. Pada 1882 berlangsung perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan Kutai soal konsesi tanah selama 75 tahun untuk pembukaan tambang batubara.

Tambang batubara pertama diresmikan pada 1888. Kemudian dilanjutkan dengan eksplorasi minyak bumi di Sanga-Sanga. Kini pertambangan minyak bumi terbesar di kabupaten tersebut berada di Samboja, dekat perbatasan Balikpapan. 

Produksi minyak bumi Kutai pernah menjadi tiga besar pada masa Hindia Belanda. J.A. Hooze, seorang  ahli geologi Hindia Belanda, menjuluki kawasan itu sebagai “Sungai Minyak Tanah.” 

Selama 41 tahun Kutai Kertanegara ing Martadipura berjalan tanpa kepemimpinan Sultan. Sejak akhir Januari 1960 Sultan Aji Muhammad Parikesit menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah daerah. Hal ini terkait dengan pencabutan status Kutai kartanegara sebagai “Daerah Istimewa” menjadi daerah swatantra setingkat kabupaten pada 1959.

Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II duduk di singgasana Balai 41 saat ritual Beluluh di teras depan Kedaton Kasultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Ritual meluluhkan segala pengaruh jahat di jiwa dan raga Sultan ini digelar setiap sore selama pekan Pesta Adat Erau 2013. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Sejak penyerahan wewenang kepemimpinan itu Sultan dan keluarganya tak lagi memiliki kedudukan khusus. Kasultanan bangkit lagi ketika Pengeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai ke-20 dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II pada 22 September 2001.

Nueng Ibrahim, seorang budayawan asal Kutai yang pernah membangkitkan seni keroncong tingkilan, berkata kepada National Geographic Indonesia, "Kekayaan Kutai tidak bisa kita lihat." Lalu, dia melanjutkan dengan ungkapan, "Kekayaan Kutai adalah kemurahan hati warganya."

Riwayat kejayaan masa silam Kutai masih berlanjut. Di kawasan tapak kerajaan Hindu tertua seantero Nusantara itu, kelak pusat pemerintahan dan Ibu Kota Republik Indonesia berada.

Sejarah berulang?