Overtourism Mengancam Indonesia, Apa Sajakah Dampaknya?

By National Geographic Indonesia, Senin, 2 September 2019 | 11:19 WIB
Patung sepasang penari Bali di gerbang Tanah Lot, Bali. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Dari dalam negeri sendiri, kita bisa belajar dari desa Nglanggeran di Yogyakarta yang merupakan salah satu desa yang berhasil menekan jumlah wisatawan tapi menaikkan pendapatan daerahnya.

Dengan strategi menaikkan harga tiket masuk dari Rp 7.000 menjadi Rp 15.000, Desa Wisata Ngglangeran berupaya menekan jumlah wisatawan yang datang. Usaha itu berhasil; jumlah pengunjung menurun dari 172.863 di tahun 2016, menjadi 151.673 di 2017.

Namun penurunan ini justru diikuti dengan meningkatnya pendapatan desa dari Rp 1,8 milyar menjadi lebih dari Rp 2 miliar berkat upaya meningkatkan lama tinggal wisatawan lewat paket wisata yang melibatkan kesenian setempat, pertanian, dan produk olahan lokal.

Dengan strategi ini tekanan yang hasilkan dari kegiatan wisatawan kepada lingkungan desa menjadi semakin rendah, sehingga mendukung keberlanjutan Nglanggeran sebagai destinasi wisata.

Nglanggeran meraih buah manis setelah 10 tahun membangun pariwisata, dan mendapat gelar desa wisata terbaik di Asia Tenggara.

Kebijakan pariwisata yang baik

Salah satu permasalahan utama dalam pengelolaan pariwisata adalah tidak terjadinya simbiosis antara pariwisata dan masyarakat. Pariwisata yang diharapkan sebagai katalis pembangunan, malah berbalik menimbulkan konflik antara wisatawan, masyarakat lokal, dan investor.

Kasus penolakan yang terjadi di Bali dan Flores menjadi bukti adanya masalah dalam pengelolaan pariwisata di Indonesia.

Dalam beberapa penelitian ilmu pariwisata, perencanaan dan pengelolaan yang mengikutsertakan masyarakat secara aktif dianggap sebagai cara yang ampuh dalam meminimalkan dampak negatif pariwisata.

Tazim B. Jamal dan Donald Getz, peneliti pariwisata dari University of Calgary, Amerika Serikat, dalam analisis mereka menawarkan perencanaan destinasi berbasiskan masyarakat. Masyarakat disiapkan agar dapat merencanakan, membangun, dan mengelola destinasi pariwisata secara mandiri.

Sampai hari ini tulisan tersebut masih menjadi acuan para peneliti dan para perencana pariwisata dalam membangun dan mengelola daerah tujuan wisata.

Kekurangan dari model pembangunan pariwisata ini adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan masyarakat agar mereka mampu bersaing di industri pariwisata.

Penerapan ambang batas daya dukung pariwisata sebenarnya sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah 50 Tahun 2011 mengenai Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025.