Sekitar lima tahun di penjara Wirogunan, atau pada 1971, Mia beserta tahanan lain dipindahkan ke Semarang, yakni penjara wanita Bulu. Namun, perpindahan itu tak berselang lama hingga mereka dipindahkan ke kamp yang baru di Plantungan.
Semasa menjadi tahanan Mia pernah berada di kelompok kerja untuk membuat sebuah taman. Karena merupakan seorang seniman ia memiliki kreativitas yang tinggi. Meskipun kehidupan kamp yang mengekang mereka, perayaan hari raya tetap bisa dirasakan para penghuni kamp. Bahkan komandan sempat memintanya untuk menjadi pemimpin dekorasi untuk acara perayaan Natal.
Di dalam penjara, petugas mewajibkan Mia dan rekannya untuk mendapatkan bimbingan mental dari rohaniawan, kepolisian, atau Kodam. Mereka mendapat ceramah mengenai Pancasila dan P4, yang didoktrin secara mendalam dan mendetail.
Beberapa waktu setelah mereka tinggal di LP Bulu, sejumlah kawanan dari Plantungan dipindahkan ke tempat itu juga. Beberapa penghuni LP Bulus juga ikut dipindahkan ke Plantungan, turut merasakan tinggal di tempat berhawa sejuk meskipun hanya menjadi seorang tahanan.
Tak lama kemudian, pemerintah merencanakan pembebasan. Sebelum pembebasan, para psikolog melakukan tes mengenai pemahaman mereka sebagai warga negara yang “Pancasilais” di bawah naungan Orde Baru yang keramat. Akhirnya, setelah mengelami beberapa perpindahan lokasi disertai penyiksaan, Mia bersama temannya dibebaskan pada 28 Juli 1978.
Baca Juga: Di Balik Kitab Suci Kaum Komunis: Inspirasi Jawa untuk Karl Marx
Pada hari pembebasan di pagi-pagi buta, mereka sudah bersiap dengan perasaan senang, lega dan haru karena akan berpisah dengan teman-teman tahanan. Ucapan selamat tinggal yang bercampur rasa haru mengiringi perasaan Mia ketika meninggalkan kamp dan menuju lapangan Diponegoro. Di sanalah upacara pembebasan dilaksanakan.
Kendati bebas, ia belum merasakan kemerdekaan dari stigma PKI. Setelah masa pembebasan, ia masih saja dihantui dengan bayang-bayang apakah dirinya akan terciduk kembali. Eks-tapol mendapatkan peraturan yang sangat ketat seperti halnya tidak boleh meninggalkan kota atau provinsi, sehingga membuat Mia berpikir apakah dirinya benar-benar bebas.
Mia sejatinya merupakan istri seorang seniman sohor di Tanah Air, Sudjojono. Ia menuliskan pengalaman hidupnya itu dalam bukunya yang berjudul Dari Kamp Ke Kamp: Cerita Seorang Perempuan. Pemaparannya begitu mendetail, sesekali ia menyisipkan sarkasme terhadap pihak pemerintah kala itu. Luapan amarah, kekecewaan, dan kesedihan dituangkannya di dalam buku tersebut. Beberapa hal yang membunuh akal—seperti tersiratnya fobia komunis—ia tumpahkan dengan cantik dan mendalam.
Mia harus merasakan dinginnya enam penjara selama 13 tahun. Tanpa pengadilan, tanpa dinyatakan bersalah dan tanpa tuduhan yang jelas ia harus menanggung beban hidup terpisah dari buah hatinya.