Nationalgeographic.co.id— Fransiska Emanuela Sasmiati ditangkap pada 23 November 1965, tepat saat perayaan ulang tahun anak ketiganya. Perempuan yang lebih akrab disapa Mia Bustam itu merupakan pengurus Seniman Indonesia Muda, organisasi pekerja seni rupa yang didirikan pada 1946.
Peristiwa penangkapan itu bermula ketika Mia mendengar deru truk yang melintas di pekarangan tempat singgahnya. Ia mengintip melalui celah dinding bambu rumahnya. Terlihat orang-orang berbaju hijau. Mereka masuk dan mengobrak-abrik isi rumahnya tanpa tahu apa yang sedang dicarinya. Dengan hati geram ia menyaksikan sederetan kejadian kasar yang dilakukan para tentara itu.
“Kau naik ke truk sana!” bentak salah seorang tentara.
Sembari memandangi anaknya yang meringkuk di pojok ruangan, ia melangkah pergi. Ia menaiki truk itu tanpa mencium anaknya. Alasan Mia tak mencium anaknya adalah ia tidak mau menangis di depan para serdadu yang menggiringnya. Truk melaju pergi meninggalkan hempasan debu dipekarangan rumah Mia.
Setelah melewati perjalanan yang panjang dibawalah Mia menuju Resort Kepolisian di Sleman. Setelah melalui pemeriksaan menghadap Komres, mereka dipindahkan ke dalam sel-sel berukuran 2m x 4m yang gelap dan berbau apek. Mia mengisahkan, bau tak sedap itu berasal dari bumbung bekas kencing seorang pria yang pernah mendekam di sel itu.
Baca Juga: Senandung Sendu Seniman Ketoprak Ketika Terseret Pusaran Geger 1965
Sepanjang malam terdapat tahanan baru yang dibawa oleh para bentara sehingga total orang yang tinggal di dalam sel berukuran 2x4 meter ada 22. Setiap pagi jam 6 selama berada di tempat tersebut, mereka dikeluarkan dari ruang pengap itu untuk mandi di sumur. Namun ketika mandi pun mereka harus ditemani oleh petugas. Jatah makan untuk para tahanan diberikan dua kali sehari dengan jenis makanan nasi jagung dengan nangka muda rebus tanpa perasa dan air minum yang entah masak atau tidak. Selama seminggu di Sleman selanjutnya Mia bersama yang lain dipindahkan ke Fort Vredenburg.
Kamp itu terlihat lebih besar, seiring berjalannya waktu penghuni kamp bertambah banyak ada sekitar 100 orang atau lebih dibagian kamp wanita. Terkait tuduhan bahwa Mia ikut memberi tempat bersembunyi dan melindungi para oknum G30S-PKI membuatnya terseret menjadi seorang tahanan. Padahal nyatanya, Mia tidak tahu menahu terkait oknum-oknum tersebut.
“Saya tidak tahu-menahu tentang oknum-oknum apapun, Pak. Yang Bapak sebut oknum-oknum G30S-PKI itu hanya anak-anak, teman sekolah anak-anak saya. Di kampungnya sendiri mereka merasa terancam oleh sikap bermusuhan dari orang-orang sekitar. Lalu mereka datang ke rumah saya yang dirasa cukup aman, juga untuk menghindarkan diri dari pencidukan,” ujar Mia saat memberi keterangan pada pemeriksaan di pos polisi.
Baca Juga: G30S PKI: Bagaimana Reaksi Media Asing Terhadap Peristiwa Ini?
Komandan kamp memberikan kepercayaan kepada Mia sebagai kepala asrama wanita. Jatah makan di kamp ini juga lebih layak, dua kali sehari mereka mendapat nasi bungkus dengan disertai lauk pauk. Namun, keadaan seperti itu hanya sementara hingga akhirnya jatah makanan berubah menjadi nasi jangung dan sayur kubis tua. Perubahan jatah makan itu disebabkan berubahnya kebijakan pihak Tim Pemeriksa Daerah.
Setelah menempati Fort Vredenburg, Mia dan tahanan lain sempat dipindahkan ke Wirogunan. Banyak kejadian tak terduga yang disaksikan Mia selama berpindah-pindah lokasi penahanan. Penyiksaan, penggeledahan, dan perlakuan yang melanggar HAM lainnya.
Sekitar lima tahun di penjara Wirogunan, atau pada 1971, Mia beserta tahanan lain dipindahkan ke Semarang, yakni penjara wanita Bulu. Namun, perpindahan itu tak berselang lama hingga mereka dipindahkan ke kamp yang baru di Plantungan.
Semasa menjadi tahanan Mia pernah berada di kelompok kerja untuk membuat sebuah taman. Karena merupakan seorang seniman ia memiliki kreativitas yang tinggi. Meskipun kehidupan kamp yang mengekang mereka, perayaan hari raya tetap bisa dirasakan para penghuni kamp. Bahkan komandan sempat memintanya untuk menjadi pemimpin dekorasi untuk acara perayaan Natal.
Di dalam penjara, petugas mewajibkan Mia dan rekannya untuk mendapatkan bimbingan mental dari rohaniawan, kepolisian, atau Kodam. Mereka mendapat ceramah mengenai Pancasila dan P4, yang didoktrin secara mendalam dan mendetail.
Beberapa waktu setelah mereka tinggal di LP Bulu, sejumlah kawanan dari Plantungan dipindahkan ke tempat itu juga. Beberapa penghuni LP Bulus juga ikut dipindahkan ke Plantungan, turut merasakan tinggal di tempat berhawa sejuk meskipun hanya menjadi seorang tahanan.
Tak lama kemudian, pemerintah merencanakan pembebasan. Sebelum pembebasan, para psikolog melakukan tes mengenai pemahaman mereka sebagai warga negara yang “Pancasilais” di bawah naungan Orde Baru yang keramat. Akhirnya, setelah mengelami beberapa perpindahan lokasi disertai penyiksaan, Mia bersama temannya dibebaskan pada 28 Juli 1978.
Baca Juga: Di Balik Kitab Suci Kaum Komunis: Inspirasi Jawa untuk Karl Marx
Pada hari pembebasan di pagi-pagi buta, mereka sudah bersiap dengan perasaan senang, lega dan haru karena akan berpisah dengan teman-teman tahanan. Ucapan selamat tinggal yang bercampur rasa haru mengiringi perasaan Mia ketika meninggalkan kamp dan menuju lapangan Diponegoro. Di sanalah upacara pembebasan dilaksanakan.
Kendati bebas, ia belum merasakan kemerdekaan dari stigma PKI. Setelah masa pembebasan, ia masih saja dihantui dengan bayang-bayang apakah dirinya akan terciduk kembali. Eks-tapol mendapatkan peraturan yang sangat ketat seperti halnya tidak boleh meninggalkan kota atau provinsi, sehingga membuat Mia berpikir apakah dirinya benar-benar bebas.
Mia sejatinya merupakan istri seorang seniman sohor di Tanah Air, Sudjojono. Ia menuliskan pengalaman hidupnya itu dalam bukunya yang berjudul Dari Kamp Ke Kamp: Cerita Seorang Perempuan. Pemaparannya begitu mendetail, sesekali ia menyisipkan sarkasme terhadap pihak pemerintah kala itu. Luapan amarah, kekecewaan, dan kesedihan dituangkannya di dalam buku tersebut. Beberapa hal yang membunuh akal—seperti tersiratnya fobia komunis—ia tumpahkan dengan cantik dan mendalam.
Mia harus merasakan dinginnya enam penjara selama 13 tahun. Tanpa pengadilan, tanpa dinyatakan bersalah dan tanpa tuduhan yang jelas ia harus menanggung beban hidup terpisah dari buah hatinya.