“Di zaman PKI seniman sangat diperhatikan,” ujar Randimo. “Ya, karena ditunggangi itu setiap desa punya gamelan. Kok, setelah gestok gamelan pada hilang entah kemana.”
Randimo lahir 76 tahun silam di Prambanan. Lelaki sepuh yang masih bersemangat itu merupakan pegiat kesenian ketoprak di Balekambang, Surakarta. Dua tahun silam, saya menjumpai lelaki itu di kediamannya di Sumber, yang berada tak jauh dari tembok keliling Balekambang.
Boleh dikata, dia merupakan sesepuh di paguyuban kesenian itu lantaran sudah banyak makan asam garam di panggung ketoprak sejak lebih dari 60 tahun silam. Bahkan, Randimo masih bergiat membina paguyuban ketoprak di tempat kelahirannya.
Dia berkisah kepada saya. Petualangannya dalam seni pertunjukan bermula ketika Randimo turut kelompok srandul, ketoprak jalanan yang bermain di pelataran tanpa tobong. Kemudian, dia bergabung dengan ketoprak Balekambang pada awal 1960-an, hingga menjadi saksi sejarah kelam tatkala geger politik pada 1965. Singkatnya, lelaki itu adalah pemain ketoprak kawakan. Ketoprak sudah menjadi jalan hidupnya, pun nada dering gawainya melantunkan seruling dan rebab yang menyayat-nyayat.
Baca juga: Kesenian Ketoprak Telah Menjadi Anak Tiri di Tanah Kelahirannya?
Sekitar 1964-65 Randimo berpentas bersama Krido Mardi di Prambanan. Kelompok ketoprak di bawah naungan Lembaga Kebudajaan Rakjat (LEKRA) itu tengah berada di tajuk kesohorannya. Randimo mengenang lakon-lakon yang dipentaskan dari “Romeo Juliet” hingga “Pilistine dan Nazareth”.
“Dulu nama karawitan Paguyuban LEKRA itu disegani,” kata Randimo. Memang, ungkapnya, orang-orang tidak mengerti tentang apa itu LEKRA. Mereka bergabung dalam wadah kesenian yang anggotanya direkrut oleh carik setempat. “Semua tidak tahu-menahu, yang penting dibayar,” ujarnya. “Tidak ada rasa takut, karena tidak tahu.”
Pada 1955-65 kelompok ketoprak telah terbagi dua aliran: PNI (Partai Nasional Indonesia) yang berkait dengan Lembaga Kebudayaan Nasional, dan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang berkait dengan LEKRA. Meskipun keduanya berkaitan, kadang orang sulit mengungkapkan fakta kaitan langsung PKI dan LEKRA, lantaran organisasi seniman itu bukan paguyuban resmi milik partai.
“Dulu nama karawitan Paguyuban LEKRA itu disegani,” kata Randimo.“Semua tidak tahu-menahu, yang penting dibayar. Tidak ada rasa takut, karena tidak tahu.”
BAKOKSI (Badan Kontak Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia) yang dibentuk LEKRA telah menaungi paguyuban ketoprak dari 275 pada 1957 menjadi 371 pada 1964. Lakon-lakon ketoprak dan kesenian panggung lainnya diadaptasi sebagai propaganda partai. Kesenian rakyat pun menjadi sebuah kegiatan seni yang kritis, progresif, dan radikal. Lewat seni, pandangan dan ide partai disisipkan sehingga masyarakat lebih memahami esensi pesannya.
Para seniman dan budayawan terseret dalam pusaran politik—disadari atau tidak. Ketika bahtera Sukarno terempas badai politik, PKI pun menjadi bulan-bulanan. Peristiwa itu menggayang para seniman LEKRA yang umumnya tak bekerja untuk politik partai.
Randimo bersaksi atas nasib pemain ketoprak menyusul terjadinya penculikan dan pembunuhan para jenderal di Jakarta dan Yogyakarta, akhir September 1965. Sebuah peristiwa yang lekat dengan ingatan warga Indonesia sebagai sebuah percobaan kup.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR