Ketika itu orang-orang yang diduga terkait dengan LEKRA diganyang habis. “Di Prambanan, lurah dan stafnya habis.” Dia juga mengenang kejadian yang membinasakan teman-teman sejawatnya, “Pemain ketoprak habis!”
“Meledak pertama di Pandan Simping,” ingatan Randimo melayang ke suatu tempat tak jauh dari kompleks Candi Prambanan. Di kolong jembatan yang menghubungkan Yogyakarta dan Klaten, ratusan warga dan pemain ketoprak yang diduga simpatisan LEKRA dibantai. “[Ketika itu] saya berada di barat jembatan sedang klonengan—bermain gamelan.”
Randimo menyaksikan jalanan sudah dijejali tentara. Sampai saat itu pun dia belum menyadari apa yang sesungguhnya terjadi, sementara dengan keheranan dia mendengar orang-orang berbisik, “Geger PKI! Geger PKI!”
Sejak munculnya upaya pembersihan orang-orang yang diduga terkait PKI pasca-September 1965, banyak teman-teman Randimo yang menghilang. Pemain ketoprak diambil satu-satu saat pentas, bahkan pesinden turut terciduk. Kelompok yang aman adalah para niyaga, atau penabuh gamelan—mungkin dianggap tidak terlalu berbahaya. Celakanya, warga yang tidak tahu menahu soal LEKRA pun dibasmi. “Satu kelurahan pria tinggal lima—semuanya kena,” ujarnya. “Teman ketoprak saya banyak sekali yang kena. Tapi, alhamdulillah ada yang tidak dibunuh. Saya selamat.”
“Satu kelurahan pria tinggal lima—semuanya kena,” ujarnya. “Teman ketoprak saya banyak sekali yang kena. Tapi, alhamdulillah ada yang tidak dibunuh. Saya selamat.”
Saya bertanya kepada Randimo, bagaimana dia bisa selamat?
Randimo mengatakan bahwa dia selamat karena saat geger itu dia berganti peran, bukan sebagai pemain ketoprak melainkan sebagai petugas berseragam tentara. Dia bertugas di sebuah kantor kecamatan selama tiga tahun. “Saya jaga dengan baret merah berlambang PNI banteng, keliling operasi dengan sepatu kedodoran karena lungsuran,” ujarnya jenaka. “Bangga sekali sampai pulang pun malas untuk melepas sepatu. Saya aman!”
Meskipun terjadi guncangan yang hebat bagi dunia kesenian pada akhir 1965, ketoprak mulai bangkit tertatih-tatih pada tahun berikutnya dan eksis kembali sekitar 1968. “Memang ketoprak pasca-G-30-S bukan tidak diperbolehkan atau dilarang,” ujar Randimo sambil menjepit sebatang rokok kretek dengan bibirnya. Dia memantik korek api, lalu mengembuskan asapnya. “Cuma takut!”
Baca juga: Ketoprak Jawa Pernah Dibunuh Dua Kali
Ketoprak tersangkut dalam keruwetan masalah politik, meskipun pemainnya tidak berpolitik. Pemain ketoprak saat itu umumnya tidak bersekolah. Para pemainnya tidak mengerti soal uang, mereka hanya mengharap bisa menunaikan ibadah makan, sehingga pernah ada istilah kotoprak madhang—atau ketoprak makan.
Ketika militer dipakai untuk menumpas orang-orang yang terlibat PKI, Randimo dan rekan-rekan sejawatnya justru ditanggap untuk menghibur satu batalyon asal Jawa Timur yang sedang bertugas di Cilacap. “Tiga bulan di Cilacap bersama Ranto Gudel,” kenangnya tentang suatu masa pada awal Orde Baru. “Penghibur tentara pascagestok.”
Kekerasan budaya itu dianggap sebuah kewajaran, sekaligus merupakan pembenaran terhadap antikomunisme. Propaganda politik lewat kesenian—sastra dan film—pada masa itu telah membuat masyarakat Indonesia terjangkiti paranoia.
Selama Orde Baru, lagi-lagi kesenian digunakan untuk melegitimasi kekerasan dalam peristiwa pembantaian massal orang-orang yang diduga terkait komunisme. Kekerasan budaya itu dianggap sebuah kewajaran, sekaligus merupakan pembenaran terhadap antikomunisme. Propaganda politik lewat kesenian—sastra dan film—telah membuat masyarakat Indonesia terjangkiti paranoia. Kendati sebagian orang telah menyadarinya, dampak kebijakan itu masih dirasakan hingga hari ini.
Ketoprak memang telah menjadi corong paling cerdas yang mudah ditangkap oleh indera masyarakat. Keterlibatan ketoprak dalam panggung politik pada awal Republik ini berdiri, akhirnya nyaris membinasakan ketoprak itu sendiri—dan juga nyawa para senimannya. Bagi Randimo, perjalanan hidupnya telah menyimpulkan bahwa para pemain ketoprak itu “belajar dipanggung, pandai juga dari panggung. Tidak berpolitik tetapi dipakai untuk politik.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR