Nationalgeographic.co.id - Tiga belas tahun yang lalu, dengan menaiki sepeda motor, Yuli Astuti berkeliling ke mana-mana. Dari memenuhi jadwal belajar teknik membatik sampai sekadar belanja pewarna, perempuan kelahiran Kudus itu melakoninya dengan tekun, bahkan bila harus berangkat ke Solo, Yogyakarta, atau Semarang sekalipun. Ia melakukannya semata-mata karena ia memiliki misi untuk menyelamatkan batik warisan budaya Kudus.
"Kadang kecapekan, tetapi setelah melihat hasil batik yang saya buat, semua rasa lelah hilang," ujar Yuli Astuti dalam sebuah wawancara bertahun silam pada Kompas.com.
Selama bergerilya mencari asal-usul batik Kudus, Yuli harus merogoh saku paling sedikit Rp 60 juta untuk menebus batik tulis Kudus kuno dari tangan seorang kolektor. Ia pun dengan kukuh berusaha mencari dan menemui tokoh-tokoh batik di Kudus, seperti Niamah, yang menjadi inspirasinya.
Baca Juga : Sepuluh Makanan yang Bisa Menangkal Penyakit di Musim Hujan
Pada tahun 1935, Kudus sempat menjadi pusat batik, dan mencapai puncak kejayaannya pada era 1970an. Dari corak dan motif, terlihat keberagaman yang mewakili para pengrajin batik Kudus masa itu, ada yang dari etnis keturunan Cina dan pengrajin penduduk asli.
Sayangnya, pada era 80an batik Kudus mengalami kemunduran. Kehadiran batik cetak (printing) dan batik cap membuat para pengrajin batik mulai lesu untuk meneruskan produksi batik tulis, hingga banyak yang gulung tikar. Pamor industri batik pun meredup, masyarakat Kudus lebih senang bekerja sebagai buruh pabrik rokok seiring dengan tumbuhnya industri rokok di daerah itu. Sampai sekarang, yang tertinggal hanya pembatik sepuh, berusia di atas 50 tahun dengan jumlah yang bisa dihitung dengan jari. Akibatnya pun motif-motif batiknya mulai menghilang dari pasaran.
Keprihatinan Yuli atas nasib warisan budaya Kudus ini membuatnya bersemangat untuk mengembalikan batik Kudus seperti masa kejayaannya dulu. Upayanya menemukan titik terang ketika Yuli mendapatkan pelatihan membatik dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Rembang pada tahun 2005. Dari 10 orang yang dibina, Yuli menjadi satu-satunya mantap menjalankan niatnya.
Yuli mendirikan Muria Batik Kudus pada 15 Desember 2005. Ia menjadi Pelopor Batik Kudus yang memunculkan kembali eksistensi batik khas Kudus yang pernah ada sejak tahun 60-an, seperti batik klasik bermotif kapal kandas, tribusono kelir, buket parijotho, dan Merak Katlea.
Dengan usaha batik miliknya, lulusan Sekolah Modiste Soen Kudus ini memiliki misi untuk menciptakan peluang kerja generasi muda, sekaligus menumbuhkan jiwa seni khususnya seni batik sebagai wujud apresiasi dari nilai-nilai seni dan budaya bangsa.
Dalam perjalanannya untuk menghidupkan kembali antusiasme pada batik Kudus, Yuli berkesempatan mengikuti dua pelatihan yang difasilitasi AWCF (Asian Women In Cooperatives Development Forum) selama 2007, yakni The Regional Exchange Programme: Women Entrepreneurs and Exploring Opportunities for Microenterprise Development in Cooperatives in Southeast Asia yang diikuti 12 negara, dan The Regional Forum - ICT Application in Enterprise Development, Building Networks and Opportunities for Women Entrepreneurs in Cooperatives.
Tidak hanya menghidupkan motif-motif yang menjadi ciri khas Kudus, Yuli juga berinovasi dengan karyanya. Pada tahun 2014, misalnya, ia melakukan terobosan baru dengan meluncurkan produk berupa sajadah dari batik yang menjadi hits di kalangan pecinta batik. Gambar masjid ia kombinasikan dengan motif batik Kudus, seperti parijotho dan gebyok Kudus. Selain itu, di galerinya Yuli juga membuat batik kaligrafi huruf arab. Batik kaligrafi tersebut tidak dipergunakan untuk sajadah, baju atau pakaian lain.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR