Nationalgeographic.co.id - Sekelompok Suku Anak Dalam (SAD) Batin Sembilan, hidup kurang layak di pinggiran sungai Pejudian, dekat Dusun Tujuh, Desa Muara Medak, Sumatera Selatan. Rumah hanya berupa gubuk dari terpal, kayu seadanya, dan dedaunan kering, tidak ada penerangan.
Hidup dekat dengan air tidak serta merta membuat mereka mendapat penghidupan yang lebih baik. Lahan Gambut di sekitarnya menyebabkan air memiliki kadar PH yang tinggi. Air asam ini mereka gunakan untuk kebutuhan sehari-hari, mandi, mencuci, hingga digunakan langsung sebagai air minum.
Air bersih menjadi langkah pertama agar SAD dapat memulai kehidupan yang lebih baik. CSR JOB Pertamina-Talisman Jambi Merang memulai pendekatan ke SAD dengan memfasilitasi pembuatan air bersih.
Baca Juga : Raih 13 dari 20 Proper Emas, Menteri LHK: Juaranya Adalah Pertamina
Filter Celup adalah salah satu inovasi pembuatan air bersih yang digunakan untuk lebih dari 60 orang SAD yang bermukim di sana. Tabung-tabung Filter Air juga terpasang di pinggiran sungai untuk memproduksi air bersih. Air sungai dipompa menggunakan pompa ayunan. Saat anak-anak bermain menaiki ayunan, air sungai akan ditarik ke dalam penyimpanan air. Dari penyimpanan air akan masuk ke dalam tabung Filter Air yang langsung dialrikan ke keran-keran.
Para kepala keluarga dan pemuda diajarkan untuk merawat dan mengoperasikan filter air yang mereka punya. Penyakit kulit dan sakit pencernaan mulai dapat dikurangi dengan adanya air bersih.
“Lebih mudah sekarang sudah ada air bersih, untuk minum, ‘kan. Tidak sakit perut lagi,” ujar Ci Uda, salah satu ibu di SAD.
Tidak berhenti pada air bersih, 16 rumah dibangun untuk 16 kepala keluarga. Dibangun balai pertemuan dan mushola untuk mereka beraktivitas di permukiman. Ditujukan agar menjadi permukiman yang lebih sehat, juga dibangun beberapa tempat mandi, cuci, dan kakus. Limbah dari kakus dibuang melalui pipa agar tidak mencemari lingkungan. Disediakan pompa air dan mesin cuci gowes untuk mempermudah aktivitas.
“Biar tiap pagi, ibu-ibu olahraga sepeda sambil cuci di sini,” canda Pak Jauhari, yang dituakan di kelompok SAD tersebut.
“Dulu, aku dibikinkan rumah di situ. Di gubuk situ,” cerita Bu Reny sambil menunjuk gubuk kecil di seberang sungai. Ia adalah relawan pengajar dari Jambi yang sudah dua tahun belakangan ikut tinggal di SAD.
“Nggak ada listrik dulu. Jadi kalau malam-malam aku lagi ngajar anak-anak, kadang aku senterin mereka pakai hape. Hahaha.” Kini, setiap rumah memiliki satu panel solar cell. Dari tenaga surya yang terkumpul di siang hari, menjadi penerangan dalam rumah di malam hari.
Penulis | : | Amalia Nanda |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR