Nationalgeographic.co.id - “Kalau dulu kami mencar-mencar. Ndak ngumpul seperti ini. Setelah dibangun rumah bagus, ada air bersih, kami mulai berkumpul, banyaklah sekarang kemajuan,” cerita Pak Jauhari. Ia adalah orang yang dituakan dalam kelompok Suku Anak Dalam (SAD) Batin Sembilan yang bermukim di Sungai Pejudian, di dalam hutan di Provinsi Sumatera Selatan.
Permukiman mereka dapat dicapai dari Dusun Tujuh, Desa Muara Medak. Di dusun tersebut, terdapat sebuah dermaga kecil. Dengan menumpang perahu selama 40 menit, kita akan sampai ke area permukiman SAD.
Suku Anak Dalam tersebar di area hutan dalam kawasan Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Hidup jauh dari peradaban luar, membuat mereka sulit untuk didekati.
Baca Juga : Raih 13 dari 20 Proper Emas, Menteri LHK: Juaranya Adalah Pertamina
Akhir tahun 2015, CSR JOB Pertamina-Talisman Jambi Merang (JOB-PTJM) mulai memiliki perhatian khusus pada SAD yang tinggal di kawasan tersebut. Tahun 2016 mereka memulai pencarian informasi dan riset dengan mendatangi Ketua RT terdekat. Saat itu, salah satu masyarakat SAD ‘ke luar’, istilah yang digunakan untuk mereka ketika pergi ke dusun. Dermaga kecil yang memang bertempat di dekat rumah Ketua RT menjadi tempat mereka bertransaksi untuk menjual ikan.
“Awalnya, takut mereka. Tapi kita coba berkoordinasi dengan pihak RT juga selaku pemerintah di sini. Kita ingin silaturahmi, mencari ada kesulitan apa yang dialami masyarakat. Awal-awal datang, sekali dua kali, loh udah nggak ada lagi mereka,” cerita Nurseno Dwi Putranto, CSR Officer yang terlibat langsung dalam bantuan untuk Suku Anak Dalam.
“Itu mereka (CSR JOB-PTJM) datang ke kita, tiga-empat kali, banyak yang lari kemarin. Tinggal aku dewe,” kata Pak Jauhari dengan campuran logat Sumatera dan Jawa. Dusun terdekat dari mereka banyak dihuni oleh transmigran dari Jawa, sehingga bahasa pun terpengaruh dari hasil interaksi.
Pengalaman pahit juga yang membuat mereka tidak lagi percaya pada orang luar. Beberapa kali ada oknum yang mengatasnamakan bantuan, meminta cap jempol mereka pada dokumen yang bahkan tidak bisa mereka baca. Ditunggu pun, tidak ada bantuan yang datang. Beberapa kali juga mereka dieksploitasi, difoto, didata, untuk mencari keuntungan.
“Orang tu (CSR JOB-PTJM) terbukti pengen bantu. Seperti Pak Fiqi (salah satu karyawan), filter air ini dibikin dulu. Tengoklah dulu, ini ada filter air katanya. Jadi, ‘jaku berarti orang ni mau bantu beneran. Bukan bohongan,” jelas Pak Jauhari. Hal inilah yang membuat Pak Jau mau berbicara pada kepala keluarga lainnya, dan membuat mereka mau mulai mendekat untuk berkumpul.
“Ada juga bu gurunya langsung datang, Suci sama Reny dulu. Jadi anak-anak mereka disekolahkan, diantarkan nginep di gubuk aku dulu.” Sebelum ada hunian yang dibangun, masing-masing kepala keluarga mendirikan gubuk sendiri yang jaraknya setiap sekitar 200 hingga 500 meter di pinggiran sungai. Berkunjung ke gubuk lain menggunakan sampan buatan sendiri.
Penulis | : | Amalia Nanda |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR