Nationalgeographic.co.id— “Amper semoea roemah ada penoeh familie dan sobat-sobatnja jang dateng mondok dari djaoeh-djaoeh [...],” Tan Gin Ho bersaksi. “[...] Di hotel-hotel banjak jang moesti tidoer di atas medja dan korsi, lantaran tida kebagian tempat.”
Tan Gin Ho mengisahkan gelumat Kota Cirebon jelang pemakaman Mayor CinaTan Tjin Kie, atau yang kerap disapa warga Cirebon dengan Babah Tjin Kie.
“Pendeknja kota Cheribon belon perna kadatengan orang begitoe banjak dari segala bangsa, seperti di waktoe djinazatnja Papa dikoeboer,” tulis Gin Ho. Pada masanya, inilah suasana Cirebon paling ramai sepanjang ingatan warganya. Keramaiannya, ungkap Gin Ho, jauh melebihi pengunjung perayaan Sekaten atau arak-arakan Cap Go Meh.
Biaya upacaranya mencapai ƒ70.000 yang nilainya sepadan dengan emas sekitar 10 kilogram—sekitar Rp5 milyar jika diukur dengan nilai uang sekarang.
Gin Ho merupakan putra bungsu sang mayor sendiri. Dia menulis kisah itu dalam sebuah memoar Peringetan dari Wafatnja Majoor Tan Tjin Kie. Buku kenangan itu diterbitkan oleh Druk en Cliche’s van G. Kolff & Co. di Batavia. Kendati sang ayah wafat pada Kamis, 13 Februari 1919, upacara pemakamannya baru digelar pada Rabu, 2 April 1919. Selama 1,5 bulan itu keluarga mempersiapkan upacara penghormatan terakhir nan akbar untuk sang mayor. Biaya upacaranya mencapai ƒ70.000 yang nilainya sepadan dengan emas sekitar 10 kilogram—sekitar Rp5 milyar jika diukur dengan nilai uang sekarang.
Tan Tjin Kie, yang wafat dalam usia 66 tahun, merupakan seorang Tionghoa terkaya dan filantropis di Cirebon. Karirnya melecut sejak menjabat letnan tituler pada 1884, lalu bergelar Kapitein pada empat tahun berikutnya. Pemerintah Manchu menganugerahi gelar maharaja kelas II pada 1893, sementara Pemerintah Hindia Belanda memberinya penghargaan Bintang Emas untuk Pengabdian—Gouden Ster van Verdienste. Lalu, pangkat mayor titulernya disematkan pada 1913.
Baca juga: Aksi Heroik Stanley Hollis, Prajurit yang Tak Bisa Dibunuh Nazi
Sang Mayor memiliki beberapa pesanggrahan bergaya hindia abad ke-19 di seantero Cirebon, seperti Roemah Pesisir, Roemah Tambak, Roemah Kalitandjoeng. Namun, Gedong Binarong, dengan pilar-pilar anggun, merupakan istana termegahnya yang bertempat di Ciledug, Kabupaten Cirebon bagian timur. Dia juga memiliki Suikerfabriek Luwunggadjah, pabrik gula yang sekaligus menjadi pabrik uangnya.
Gin Ho meneruskan wasiat ayahnya untuk mendirikan masjid di kawasan pabrik gula itu “...sebab ini mesigit di nijat di bikin jang bagoes boeat bisa toeroet djadi perhiasan fabriek...”
Ahli sastra Jawa, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (1899–1988), menjuluki Tan Tjin Kie sebagai “pelindung besar kesenian Jawa”.
Mayor Tan Tjin Kie memang sangat dihormati. Sekitar sepuluh tahun selepas pemakaman akbar itu ahli sastra Jawa, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (1899 –1988), mengungkapkan bahwa sang mayor itu memiliki koleksi wayang gedok—wayang yang mementaskan cerita Panji—koleksi manuskrip, dan memiliki perhatian khusus kepada para dalang. Pigeaud pun menjuluki Tan Tjin Kie sebagai “pelindung besar kesenian Jawa”.
Gin Ho melaporkan pandangan matanya soal dampak upacara pemakaman sang ayah. Sementara jalanan di Cirebon dan sekitarnya kebanjiran pengunjung, tidak demikian dengan pusat perbelanjaan. “Pasar-pasar dalem kota semoea kosong, tida ada jang djoealan,” tulisnya. “Djangan lagi pasar-pasar di kota; pasar-pasar di loear kota [...] djoega djadi kosong.”
Baca juga:Dunia Dalam Berita, Pameran Seni Kontemporer Indonesia Pra dan Pascareformasi
Peti jenazah diangkut keluar dari rumah duka oleh 60 orang Tionghoa berbusana dan topong serba putih. Kemudian dengan cepat zonder ada suara, peti yang berkilau itu diangkut ke atas kereta jenazah. Kereta itu ditarik oleh 240 orang Tionghoa. “Perak-peraknja peti berkilat ketjorot oleh mata hari, lantas barisan militair kasih salvo.”
Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR