“Perak-peraknja peti berkilat ketjorot oleh mata hari," tulis Tan Gin Ho, "lantas barisan militair kasih salvo.”
Arak-arakan upacara pemakaman sang mayor ini terdiri atas sembilan kelompok yang panjangnya hampir satu kilometer. Mereka berjalan dari rumah duka hingga ke peristirahatan terakhirnya di Dukusemar, Cirebon. Sementara itu konvoi mobil pelayat, kereta dan kahar yang berjalan dibelakang kereta jenazah itu panjangnya kira-kira hingga dua pal—sekitar tiga kilometer lebih!
Jelas itu adalah hari yang sibuk dan panjang untuk polisi. Sepanjang jalan menuju permakaman, setiap 20 meter tempak polisi berjaga di kanan dan kiri jalan. Dalam arak-arakan, pun satu polisi bertugas setiap 10 meter. Gin Ho mengungkapkan, setidaknya hari itu sejumlah 600 polisi mencurahkan perhatiannya untuk menjaga ketertiban upacara ini.
Pemakaman akbar Sang Mayor Cina ini dihadiri oleh keluarga Residen Cirebon C.J. Feith dan Asisten Residen A.J.H. Eijken. Pemerintah Hindia Belanda juga mengirimkan dua pleton pasukan sebagai penghormatan terakhir.
CIREBON KEBANJIRAN PELAYAT. Gin Ho menaksir ada 200.000 orang yang hadir untuk melayat. Biaya sewa kahar atau kereta yang ditarik lembu atau kuda melonjak delapan kali lipat, sementara harga sewa mobil berlipat berjingkat-jingkat hingga empat kali. Gin Ho juga mengamati di sepanjang jalan yang dilalui iring-iringan pelayat, banyak penjual meraup untung yang berlebihan. “Waroengan ada djoeal aer per kendi ƒ1,” catatnya. “Sepintjoek nasi jang harga bijasa tjoema 1 cent, di djoeal boeat 10 cent ka atas.”
Tak hanya pedagang makanan atau minuman yang menjaring untung di hari pemakaman Mayor Tan Tjin Kie, tetapi juga pemilik tribun bambu yang didesain bertingkat khusus untuk menonton perhelatan akbar ini. Para penyewa kursi tribun itu tak berbatas bangsa—orang Tionghoa, Eropa, dan bumiputra, demikian ungkap Gin Ho. Kendati demikian, banyak juga orang yang tidak kebagian tempat. Mereka menyaksikan iring-iringan upacara pemakaman itu dari loteng-loteng rumah atau pepohonan di tepi jalan. “Boekan sadja toean-toean Europa tapi ada bebrapa njonja-njonja of [atau] nona-nona Eropa jang toeroet naek di poehoen-poehoen.”
“Boekan sadja toean-toean Europa tapi ada bebrapa njonja-njonja of [atau] nona-nona Eropa jang toeroet naek di poehon-poehoen.”
Tatkala kereta jenazah lewat, suasana senyap dan takzim. Para pelayat tak berani beruara keras. Mereka yang berada di tepian jalan pun menghormatinya. Orang-orang Eropa membuka topi mereka, sementara nyonya-nyoya Tionghoa bersoja—memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan dalam tradisi Konghucu.
“Maski orang ada begitoe banjak dan di antaranja ada banjak jang koerang makan dan koerang tidoer," tulis Gin Ho, "tapi dari kasihannja Toehan Jang Maha Kwasa semoeannja ada slamet, tida ada kedjadian katjilakaan sewatoe apa.”
PERISTIWA PEMAKAMAN AKBAR itu belum genap seabad, namun apakah kota yang pernah dibangun Tan Tjin Kie juga mengenang dan merawat tinggalannya?
Sam Setyautama, seorang akuntan dan peminat budaya Tionghoa, memberi kesaksian soal kabar terakhir makam Mayor Tan Tjin Kie. Dalam buku karyanya, Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, Sam mengisahkan pelancongannya ke Dukusemar pada awal 2004.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR