Kami memilih menyebarkan kuisioner ke pekerja media dan mahasiswa dengan asumsi bahwa kelompok ini memiliki pengetahuan dan keahlian lebih baik dalam mengenali misinformasi.
Pada tingkat pendidikan, responden dalam penelitian ini mayoritas lulusan S1 (47,5%), diikuti oleh lulusan SMA (28,8%), pernah kuliah (12,9%), pascasarjana (7,9%), dan sisanya tidak lulus SMA.
Pada tingkat pendapatan, responden mayoritas berpenghasilan sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta yang ditetapkan sebesar Rp3,7 juta pada 2018. Responden kami berpenghasilan Rp3,7 juta (50,3%), Rp3,8-5 juta (14,4%), Rp5-10 juta (14,9%), dan sisanya di atas Rp10 juta (9,9%).
Adapun mayoritas usia responden adalah 18-24 tahun (47%), 25-34 tahun (36,4%), 35-44 tahun (12,4%), dan lebih dari 45 tahun (2,3)%.
Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif yang signifikan antara tingkat pendidikan dan penghasilan dengan perilaku menyebarkan misinformasi tanpa memverifikasinya lebih dulu. Dengan kata lain, semakin rendah tingkat pendidikan dan penghasilan responden maka semakin besar kemungkinan mereka menyebarkan hoaks.
Sedangkan faktor umur tidak berpengaruh pada kecenderungan mereka dalam menyebarkan hoaks. Temuan ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Barat.
Penelitian kami juga menunjukkan bahwa kecenderungan membagi informasi di media sosial tanpa memverifikasi terlebih dulu ditentukan dari seberapa banyak pengalaman seseorang menggunakan internet. Semakin banyak pengalaman seseorang dalam berinternet maka kemampuan mereka dalam menggunakan Internet untuk mencari, membagi, dan memverifikasi informasi semakin tinggi.
Dengan kata lain, seseorang yang baru saja bisa menggunakan internet cenderung lebih rentan membagi informasi tanpa mengeceknya terlebih dulu.
Rekomendasi untuk program literasi
Dari temuan hasil penelitian ini, kami memiliki setidaknya tiga rekomendasi dalam penyusunan kebijakan atau materi pelatihan literasi informasi untuk mencegah penyebaran hoaks di media sosial.
Pertama, pelatihan dan edukasi literasi informasi perlu diberikan kepada individu tanpa membedakan usia. Hal ini dikarenakan penelitian kami menunjukkan bahwa faktor usia bukan faktor penentu.
Kedua, program literasi informasi sebaiknya menargetkan individu dari tingkat pendidikan yang lebih rendah, pendapatan yang lebih rendah, dan mereka yang baru saja menggunakan internet. Karena penelitian kami menunjukkan bahwa mereka adalah kelompok yang paling rentan.
Ketiga, program literasi informasi sebaiknya dimulai dengan mengajarkan individu tentang proses produksi informasi di media sosial dan kualitas berbagai jenis informasi di sana. Hal ini karena penelitian kami menunjukkan bahwa mereka yang rentan percaya begitu saja pada informasi yang ada di media sosial.
Kedua pengetahuan tentang proses produksi dan jenis informasi di media sosial penting untuk diketahui sebelum memperkenalkan pengetahuan lain misalnya tentang apa itu hoaks, konsekuensi dari menyebarkan hoaks dan bagaimana cara memverifikasi informasi.
Penulis: Ika Karlina Idris, Dosen Paramadina Graduate School of Communication, Paramadina University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.