Nationalgeographic.co.id - Hoaks kembali dituding sebagai faktor yang turut memperparah kerusuhan di Papua beberapa waktu yang lalu.
Kepolisian baru saja menetapkan aktivis hak asasi manusia dan pengacara publik Veronica Koman menjadi tersangka. Polisi menuduh Veronica memprovokasi kerusuhan yang terjadi di Asrama Papua di Surabaya Jawa Timur dengan menyebarkan hoaks.
Hoaks pun diperkirakan akan kembali mewarnai penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun depan, setelah pemilihan umum (pemilu) yang berlangsung tahun ini.
Sejak 2017, pemerintah, akademisi, pekerja media, dan pegiat literasi telah melakukan berbagai upaya memberantas hoaks. Penyebaran misinformasi dan hoaks di media sosial terjadi sejak pemilihan presiden 2014, namun semakin parah pada pilkada Jakarta 2017.
Program literasi dirancang dengan target individu karena mereka dianggap sebagai aktor kunci yang menentukan tersebarnya hoaks dan misinformasi, setidaknya ini yang terjadi di media sosial.
Saya dan kolega saya Laeeq Khan dari Ohio University, Amerika Serikat, menyusun sebuah penelitian untuk lebih mengenali siapa individu penyebar hoaks ini dengan harapan hasilnya nanti bisa menjadi petunjuk dalam penyusunan program literasi yang lebih tepat sasaran.
Penelitian yang baru saja diterbitkan di jurnal Behavior and Information Technology menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi seseorang membuat mereka rentan untuk menyebarkan hoaks.
Hasil penelitian ini membantah temuan-temuan sebelumnya yang menunjukkan usia menentukan rentan tidaknya seseorang menjadi penyebar hoaks.
Hasil penelitian
Penelitian ini melibatkan 396 responden yang terdiri dari mahasiswa di tiga universitas di negeri dan swasta di Jakarta serta pekerja media di beberapa wilayah di Indonesia.
Riset ini dilakukan pada Januari-Februari 2018 dengan metode pengambilan data berupa kuisioner yang disebar melalui jaringan internet. Kami memilih metode ini untuk menjangkau responden dengan lebih mudah.
Dalam penelitian ini, kami ingin mengetahui bagaimana kemampuan seseorang dalam mencari, membagi, dan memverifikasi informasi mempengaruhi perilaku mereka dalam menyebarkan hoaks.
Jadi, dalam kuisioner kami menanyakan tingkat kemampuan masing-masing responden dalam mencari, membagi dan memverifikasi informasi.
Kami memilih menyebarkan kuisioner ke pekerja media dan mahasiswa dengan asumsi bahwa kelompok ini memiliki pengetahuan dan keahlian lebih baik dalam mengenali misinformasi.
Pada tingkat pendidikan, responden dalam penelitian ini mayoritas lulusan S1 (47,5%), diikuti oleh lulusan SMA (28,8%), pernah kuliah (12,9%), pascasarjana (7,9%), dan sisanya tidak lulus SMA.
Pada tingkat pendapatan, responden mayoritas berpenghasilan sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta yang ditetapkan sebesar Rp3,7 juta pada 2018. Responden kami berpenghasilan Rp3,7 juta (50,3%), Rp3,8-5 juta (14,4%), Rp5-10 juta (14,9%), dan sisanya di atas Rp10 juta (9,9%).
Adapun mayoritas usia responden adalah 18-24 tahun (47%), 25-34 tahun (36,4%), 35-44 tahun (12,4%), dan lebih dari 45 tahun (2,3)%.
Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif yang signifikan antara tingkat pendidikan dan penghasilan dengan perilaku menyebarkan misinformasi tanpa memverifikasinya lebih dulu. Dengan kata lain, semakin rendah tingkat pendidikan dan penghasilan responden maka semakin besar kemungkinan mereka menyebarkan hoaks.
Sedangkan faktor umur tidak berpengaruh pada kecenderungan mereka dalam menyebarkan hoaks. Temuan ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Barat.
Penelitian kami juga menunjukkan bahwa kecenderungan membagi informasi di media sosial tanpa memverifikasi terlebih dulu ditentukan dari seberapa banyak pengalaman seseorang menggunakan internet. Semakin banyak pengalaman seseorang dalam berinternet maka kemampuan mereka dalam menggunakan Internet untuk mencari, membagi, dan memverifikasi informasi semakin tinggi.
Dengan kata lain, seseorang yang baru saja bisa menggunakan internet cenderung lebih rentan membagi informasi tanpa mengeceknya terlebih dulu.
Rekomendasi untuk program literasi
Dari temuan hasil penelitian ini, kami memiliki setidaknya tiga rekomendasi dalam penyusunan kebijakan atau materi pelatihan literasi informasi untuk mencegah penyebaran hoaks di media sosial.
Pertama, pelatihan dan edukasi literasi informasi perlu diberikan kepada individu tanpa membedakan usia. Hal ini dikarenakan penelitian kami menunjukkan bahwa faktor usia bukan faktor penentu.
Kedua, program literasi informasi sebaiknya menargetkan individu dari tingkat pendidikan yang lebih rendah, pendapatan yang lebih rendah, dan mereka yang baru saja menggunakan internet. Karena penelitian kami menunjukkan bahwa mereka adalah kelompok yang paling rentan.
Ketiga, program literasi informasi sebaiknya dimulai dengan mengajarkan individu tentang proses produksi informasi di media sosial dan kualitas berbagai jenis informasi di sana. Hal ini karena penelitian kami menunjukkan bahwa mereka yang rentan percaya begitu saja pada informasi yang ada di media sosial.
Kedua pengetahuan tentang proses produksi dan jenis informasi di media sosial penting untuk diketahui sebelum memperkenalkan pengetahuan lain misalnya tentang apa itu hoaks, konsekuensi dari menyebarkan hoaks dan bagaimana cara memverifikasi informasi.
Penulis: Ika Karlina Idris, Dosen Paramadina Graduate School of Communication, Paramadina University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.